Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Juni 2018

LEMBAYUNG DI LANGIT SYAWAL

Kekasih...
Aku tak tahu hatiku terbuat dari apa, hingga mampu menahan setiap beban kekangan rindu tak terkira.

Kekasih...
Aku tak tahu air mataku berasal darimana, tapi yang kutahu hingga kini ia mengalir tiada hentinya.

Kekasih...
Ada jutaan doa yang kupersembahkan pada Tuhan, agar semua ini dapat tertuntaskan.

Kekasih...
Ada jutaan kata yang aku teriakkan dalam sukma, walau tak pernah sampai ke telinga.
Yakinlah, ia telah mengangkasa, hingga malaikatpun mengaminkannya.

Kekasih...
Pada matahari yang mulai takluk oleh senja, aku bercerita tentang derita menahun yang kutahan karenamu.
Derita cinta yang tak pernah kuuntai dengan manik-manik kata indah untukmu.
Tetap bernapas dalam palung sukma terdalam tanpa siapapun yang tahu selain Tuhan dan aku.

Kekasih...
Ramadhan tahun ini mengingatkanku pada Ramadhan pertama kita bersama.
Dengan senyum dan tawa dari orang yang sama.
Hanya kali ini tak tampak olehku binar bahagia di ujung matamu dan yang kurasa adalah rindu yang semakin menua.

Kekasih...
Syawal kali ini terasa begitu berbeda dengan hangat sapa dan candamu.
Ada beban kekangan rindu yang terurai, namun tak sanggup menghentikan waktu.
Celakanya, beban kekangan rindu baru lebih berat kau tinggalkan setelah selesai pertanyaanku.

Kekasih...
Langit pun tega menjatuhkan gerimis yang dikirim Tuhan.
Tahu bahwa aku sedang butuh teman untuk meluapkan segenap rindu yang tertahan.
Belum cukup sujud sembah yang kuikhtiarkan agar kau selalu dalam lindungan Tuhan.

Kekasih...
Yakinlah, pada setiap ruas jari tanganku yang menengadah ke langit Syawal.
Ada namamu yang tak pernah kutinggalkan.
Aku titipkan permohonan pada Tuhan, walau bayangmu kini hilang dari pandangan.

Kekasih...
Apa yang kutahu selain namamu, di mana kau pun aku tak tahu.
Aku yakin takdir takkan salah alamat untuk menemukanmu.
Biarlah Tuhan sisipkan angin rindu yang sejuk dariku di dalam sela-sela hatimu.
Agar kau tahu sungguh ada seseorang yang menantimu bersama lembayung di langit Syawal yang baru.

Kota Solok, 21 Juni 2018.
ba'da gerimis sepekan.

Jumat, 03 Februari 2017

Komentar Sang Bisu

Malam punya caranya sendiri menyulap seseorang yang tadinya baik-baik saja sekarang menjadi pura-pura baik tanpa disengaja.
Mungkin karena ia menghadirkan gelap yang menonaktifkan pikiran rasional alias melahirkan kepekaan perasaan yang lebih dominan.
Kali ini bukan mungkin, malam memberikan semuanya ketika siang sudah menyiksamu dengan semua pemikiran rasional dan tak jarang berseberangan dengan kata hati.
Itu mengapa aku menyebut malam sebagai waktu paling jujur.
Sampai-sampai kita tidak mampu menipu diri kita sendiri terhadap apa yang sedang terjadi.


Bukan berarti aku sedang menyalahkan malam karena sudah membuatku hilang kendali begini. Memang waktunya dan memang harus begini adanya.
Karena senyum yang terlukis indah di muka juga butuh istirahat. Istirahat dari kepura-puraannya menghadapi semua yang di luar kendali manusia.


Menarik memang jika kali ini aku berusaha mengikuti akal pikiran yang mengaku rasional untuk menyerah bertahan. Semua orang bilang, "ayo move on!". Menurutku sendiri, move on berarti aku berhenti untuk holding on, ya, berhenti bertahan. Bertahan sampai Allaah memang benar-benar bilang, "wahai hambaKu, ini lah jawaban."

Aku tidak pernah menafikkan kalau memang aku punya caraku sendiri memaknai -move on-. Dan tidak masalah jika mereka menganggapku lemah hanya karena aku tampak kalah dengan keadaan. Bahkan sekarang belum ada keputusan siapa yang lebih berhak Allaah menangkan. Dia yang yakin dengan takdir atau malah mungkir? Intinya, beri saja kesempatanku menikmati waktuku untuk bertahan. Meski sedari awal sudah kuputuskan untuk menyiapkan dua mental sabar. Sabar menerima takdir yang sesuai harapan dan sabar menerima takdir yang sesuai kebutuhan.


-Bagaimana caranya memilih di antara beberapa pilihan sedang pilihan kita tidak ada di antaranya?-


Setiap orang punya caranya sendiri memutuskan apa yang terbaik untuknya. Karena mereka tahu bahwa Allaah tidak akan mengubah nasibnya jika mengandalkan kepasrahan.
Menolak tidak selalu bermakna tidak menerima. Bisa saja belum menerima.


Adakah yang lebih rela melepaskan atau bahkan merelakan jatuh bangunnya bertahan hingga hampir tiga tahunan? Sampai saat ini jawabannya masih -tidak-.


Bagi mereka yang menyebutku -gila-, aku sangat berterima kasih. Karena dari mereka aku belajar bagaimana harus bersikap dan mempertahankan pilihan.


Memang begini cara -gila-ku untuk mencegah perpanjangan sebuah harapan. Karena kamu tahu sendiri betapa nelangsanya dikhianati harapan, bukan? Mulai dari harus menutup semua peluang harapan itu akan muncul. Bahkan harus rela untuk memutuskan semua jalan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang menjadi jalur kedatangannya yang kadang tiba-tiba saja ada, tiba-tiba saja datang. Atau malah menghapus semua kesempatan dari kehadiran semua harapan yang belum sempat lahir. Bukannya sejak awal sudah ku katakan bahwa sesuatu yang sederhana bahkan tak berarti apa-apa bisa menjadi sesuatu yang luar biasa bagi mereka yang terang-terangan menyimpan harapan? Karenanya, aku harus beberapa kali kalah dengan kejujuran. Harus membuat dinding yang besar lagi tinggi agar tak ada yang bisa menembusnya, menghancurkannya. Dari dua alasan mengapa seseorang harus menjauh sejauhnya-jauhnya, antara menyimpan rasa cinta yang teramat dalam ataukah rasa benci yang termat dalam, kamu tahun sendiri jawaban -orang gila- ini yang mana.

Bukan masalah sepele bagi pribadi yang beberapa bulan lagi akan menginjak usia 23 tahun. Mestinya sudah bisa mngambil sikap atas setiap peluang yang akan muncul dengan adanya pilihan. Peluang akan dipatahkan setelah sekian lama menahan kesakitan atau bahkan peluang dimerdekakan dari penjajahan bertahan. Tentang jatuh bangun pengorbanan yang masih samar-samar, itu hanya pola dan ritme kehidupan. Bukan malah menjadi soalan.


Ada yang berniat baik, belum tentu Allaah mudahkan. Ada yang berniat buruk, tahu-tahunya kesampaian. Tapi, masihkah kita yakin bahwa kita akan mendapatkan apa yang telah kita niatkan?


Aku bukan anak umur belasan tahun yang masih menjadikan kelabilan sebagai tumbal dan alasan. Sebab berhati-hati dengan pilihan adalah salah satu cara untuk menentukan di mana tempat berlabuhnya kehidupan.


Bertahan tidak begitu mengasikkan. Harus kalah dengan keadaan saat sendirinya butuh arahan. Harus kalah dengan perasaan yang terus memaksa minta dibalaskan. Tidak terlihat menyenangkan, bukan?


Bertahan tidak sebercanda itu, katanya. Saat semua kata sudah berkumpul di atas lidah dan siap dilontarkan, tapi kamu memaksa menelannya kembali karena takut dengan perasaan. Takut jika akhirnya kamu harus berhenti bertahan karena nyatanya semua tak sesuai harapan.


Bertahan memang gila. Kamu rela membunuh setiap rindu yang muncul, merapikan kembali memori yang tiba-tiba hadir, dan menyita waktu untuk berpikir tentang kapan semua ini akan berakhir.


Bisa jadi ada masanya nanti aku akan berhenti bertahan. Berjalan mundur, bukan berarti aku berputus asa. Akan tetapi, sudah tak mampu lagi membendung luka.


Bisa jadi ada masanya aku berhenti bertahan. Berjalan mundur, bukan berarti aku menyerah pada keadaan. Akan tetapi, sudah tak mampu lagi mengalah kepada keberpura-puraan. Sebab aku bukan Tuhan.



---Tahun keempat dan hari ke seribu sekian, masih ada namamu yang aku selipkan.





Solok,Hari ke-34 di tahun 2017.


---entah pelangi mana yang kau sebut akan hadir setelah hujan reda.

Jumat, 22 Juli 2016

Syair Batang Lapuk

Aku benar-benar umpama batang lapuk yang tiada lengah mempertahankan ranting-ranting sumbing.

Bersama akar-akar kokoh yang mengalah untuk menghujam ke dalam tanah.

Beserta daun-daun kering yang pasrah pada langit yang mulai menguning.

Bagaimana bisa udara memaksa masuk lewat mulut daun jika ia menolak tuk menerima?

Bagaimana bisa hara memaksa menyelinap ke dalam pori akar jika ia merajuk tuk mengangguk?



Aku benar-benar umpama batang lapuk yang nyaris terperdaya pada dahan yang menua.

Ragu jika hujan datang memberi pertanda akan adanya kehidupan kedua.

Bimbang jika belukar mendekat memberi pertolongan menghabiskan kesempatan pertama.



Aku benar-benar umpama batang lapuk yang habis digerogoti waktu tak menentu.

Keras kepala mempertahankan ranting yang bisa saja jatuh, lantas lebih rapuh.

Bersikukuh mengikat daun yang bisa saja jatuh, lantas habis gugur.



Aku benar-benar umpama batang lapuk yang memimpikan tunas tumbuh.

Menyertai harapan lusuh, mengaminkan kesempatan tunai yang utuh.

Membersamai benih-benih baru yang diterbangkan jauh, hingga tak sanggup direngkuh.



Aku benar-benar umpama batang lapuk jika terus dipaksa membunuh dirimu dalam milibyte memoriku.

Sampai pada setiap air mata yang jatuh, itu masih karenamu.

Tentang setiap senyum yang lahir, itu juga masih karenamu.

Tiada rasa paling tulus selain apa yang kupersembahkan pada Tuhan.

Agar namamu masih tetap bertahan dalam genggaman.


Sabtu, 16 Juli 2016

Minggu Malam yang Keenam

Assalaamu’alaykum bloggers...

Say HI untuk Saturday afternoon kali ini yang kayanya bakalan sad ending persis lima kali Saturday afternoon(s) yang udah berlalu. Hiahiahia. Never mind, enjoy the drama coeg :v

Beteweh, lagi rehat skripsweet nih, sabar nungguin janji dosen(s) yang janjinya mau Acc Senin lusa. Yuk, aamiin. Biar September ini bisa ngirimin foto wisuda ke anak STAN. *ehhh

“Pressing” nya tuh gak pas ngerjain skripsi, tapi pas dengerin statement dosen yang subhanallaah gak terprediksi. Boro-boro nge-Acc, malah disuruh nambah tabel data biar skripsinya sempurna. Kayanya si Bapak tahu begete, anak bimbingannya golongan darah A. Ah, gak usah bahas golongan darah, bete akut. Kyakyakya.

Ok, ganti topik.

Siapa bilang kalo mahir (red: mahasiswa tahun akhir) bakalan berkurang waktunya untuk ngepoin sosmed? Kayanya ironi deh. Hehe. Oiya, di Facebook lagi hits kudeta Turki, nih. Sebagai saudara seiman, kita kudu plus wajib ngedoain semua bakal baik-baik aja, biar Allah yang atur. Tentang Negara kita? Doain juga dong. Biar punya pemimpin yang model begitu. Walaupun “no body is perfect”, tapi yang mendekati sempurna ada kan? Aamiin.

Di instagram lagi hits apa nih? Ikhwan nyeret akhwat? Atau akhwat yang nyeret ikhwan? Main seret-seret. Ente minta diblacklist dari daftar calon teman hidup? Wkwkwk. Amit-amit dah punya yang suka nyeret-nyeret. Katanya cinta, kok diseret-seret? Hiks. Kalo cinta mah, diperjuangin, diperlakukan dengan cara yang mulia. Bukan sebaliknya. Stop, lagi gak mood bahas nikah. Trauma.

Di BBM lagi hits teman-teman yang kompakan ganti DP hangout plus extra ordinary holidays mereka. Apa dayaku cuma sepending holiday di lobi FMIPA. Huhu. Namanya juga Holy-day.

Oiya, di Line lagi hits apa nih? Udah jarang mampir, semenjak bunuh diri sama cerita sendiri. Uhhh ngeri man. Bunuh diri. Ya, bunuh diri. Entah diri siapa. Hahaha. Waktu itu pas ada yang bilang “selamat berbuka”, tapi cuma diread aja. Maaf ya.

Di whatsapp? Ya, lebih tepatnya di grup whatsapp lah. Oiya, kamu punya berapa grup whatsapp. Saya cuma punya 14 grup dan itu diBISU-in semua hehehe. Lagi pengen bahas grup whatsapp nih. Kira-kira apa sih urgentnya grup whatsapp? Menurut hemat saya, definisi grup whatsapp adalah ruang tertutup tapi terbuka yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk cewe-cowo atau ikhwan-akhwat mulai unjuk gigi. Biar kelihatan keren gitu. Ngepost yang agak elegant biar disangka WOW gitu. Terus dikomen, sampe ujung-ujungnya muak sendiri. Hihihi. Kadang ngabisin waktu percuma untuk saling berdebat sesama ikhwan atau sesame akhwat, biar disangka keren dan dibilang “wah dia hebat ya”. Duhduhduh. Boleh left grup gak sih?

Grup whatsapp itu sebenarnya banyak positifnya. Cuma ya penggunanya aja yang gak smart untuk memanfaatkannya. Berdalih untuk mempererat tali silaturrahim, katanya. Hellow??!! Bisa chat langsung kali ke saudaranya. Ehiya, chatnya yang sejalur kali ya. Jangan bilang, “ane mau menjaga tali silaturrahiim dengan akhwat itu” (ungkap ikhwan ini). Atau sebaliknya. Duhduhduh berkali-kali. Gagal fokus kayanya. Kasihan lah tali silaturrahim dijadiin kambing putih untuk hal yang begituan.

Sarana diskusi? Diskusinya yang apik dong. Jangan malah debat kusir. Gak ada ujungnya, terus saling nyindir. Saya aja yang kalo baca chat grup saling membela opini masing-masing jadi illfeel. Orang lain yang bermasalah kok kita yang debat. Please deh. Boleh left grup gak sih?

Keren itu kalo di grup nya dishare info yang efeknya baguuusss demi anggota grup. Share ilmu baru bisa jadi. Tapi, kalo mau menanggapi, wes langsung ke yang ngeshare. Atau mungkin kalo mau ngomentari, bisa pilahpilih kalimat yang gak ngundang komen lain di luar jalur. Ngono loh. Hehehe.

Keren itu kalo di grupnya langsung setoran amalan yaumi. Atau setoran hapalan. Biar lebih banyak manfaatnya dunia akhirat. Belajar ngaji kek, belajar dakwah kek. Gak usah mikir setengah mamvus tentang hal-hal yang jauh dari jangkauan. Bahas yang deket-deket aja. Pikirin yang deket-deket aja. Udah baik belum? Gitu kan enak.

Udah ah, malas bahas grup whatsapp. Mending bahas yang lain.

Well. Back to timeline.

Sabtu malam ini kelabu banget ya. Setelah H+2 hari milad saya, lumayan spesial. Karena teman-teman ngucapinnya langsung, dan nyaris semuanya. Horeee kampusnya kan gak libur hahaha. Tapi, masih kecewa juga gara-gara ada yang gak ngucapin sampe sekarang. Kenapa coba? (berlinang air mata sambil ketawa)

Dear bloggers, bisa titip salam gak?

Kita kita selalu bisa merindukan seseorang yang sudah membuat kita bahagia. Tapi, bisa gak sih kita merindukan seseorang yang sudah membuat hati kita terluka? Mewek nih ceritanya.

Dear bloggers, ketika kamu nelangsa dan gak tahu kamu lagi rindu siapa sebenarnya, kesel gak?

Kita gak akan pernah berpikir panjang dan gak pernah peduli kalo sedang rindu, dia yang dirindukan bakal rindu balik atau gak. Tapi, kalo tipe pemikir kaya saya? Jadi males rindu, beuh. Toh, belum pasti yang dirindukan juga bakal ngerinduin balik. Kan sia-sia, percuma.

(Ini bahasannya udah ke mana-mana?)

Udah ya bloggers, I feel so sleepy. Oyasumiii. J


Rabu, 22 Juni 2016

Kata Ayah, Aku Harus Cerdas

Malam ini sama seperti malam kemarin, bahkan tahun-tahun yang telah lalu.
Jika ada hal yang paling tidak membosankan setelah tilawah, aku akan memilih mendengarkan ocehan ayah yang selalu tepat mengena di jantungku.
Tinggal nunggu piala bergilir buat yang betah. Itu kata adikku.

Well.
Dari 987.654.321 nasihat yang ayah berikan, kisah yang ayah ceritakan, amarah yang ayah ungkapkan, atau kata-kata sayang yang selalu manis jika beliau ucapkan, aku paling mantap sekali rasanya paham tentang yang satu ini.
Memang, ayah kalau bahas ini pasti mengheningkan cipta dulu. Mungkin beliau ragu, sebab belum rela melepas seorang 'aku'.

"Sayang, dengarkan ayah baik-baik. Kamu lihat dunia kita sekarang? Tahu gak apa yang sebenarnya menjadi asal muasal kekalutan dunia kaya sekarang?"

"Manusia banyak durhaka, ya kan Yah?"

"Bukan. Sama sekali bukan."

"Lantas apa?"

"Semua karena fitnah wanita."

"Lho? masa Yah?"

"Wanita itu makhluk Tuhan paling super. Pastilah menjadi cerminan bagi sebuah negeri, tentang bagaimana wanitanya. Tak usah jauh-jauh bahas negeri. Bahas saja skala kecil, keluarga contohnya. Lihat, bandingkan. Mana yang lebih berkualitas dunia akhirat keluarga yang wanita di dalamnya adalah shalihah dengan yang tidak? Bandingkan, bagaimana dengam keluarga yang wanita di dalamnya cerdas atau tidak? Berattitude atau tidak?"

"Ayah semacam memberikan pertanyaan yang tak perlu jawaban, Yah."

"Nah, sedari itu. Apakah anak Ayah tidak ingin jadi wanita yang shalihah, cerdas, dan berattitude? Bukannya kamu sendiriyang bilang kalo kromosom yang menentukan tingkat kecerdasan anak itu dibawa oleh ibunya?"

"Ya, Yah. Lantas, maksud ayah? Aku belum benar-benar paham."

"Wanita yang shalihah, ia komplit secara spiritual. Itu kenapa di daerah kelahiranmu diwajibkan sepasang calon pengantin harus pandai baca Quran sebelum ijab qabul. Itu kenapa Ayah selalu keras mendidikmu agar kamu paham Quran. Yang jelas, anak-anakmu bisa jadi Qari/Qariah, Hafidzh/Hafidzhah. Percuma cantik, kalo gak bisa ngaji. Di alam kubur, kita bakal ditanyain pake bahasa Arab, bukan bahasa Inggris, Jepang, apalagi Minang. Wanita shalihah, yang tahu tanggung jawab dan kewajiban sebagai anak, saudara, istri, dan ibu tentunya. Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga. Ia tahu kewajibannya. Sekarang ayah bicara tentang kewajibanmu nanti sebagai seorang istri. Ketika semua lahir dan bathinmu, suamimu yang turut bertanggung jawab. Tidak lagi ayah,apalagi ibumu. Wanita yang shalihah, menyerahkan semua yang ada pada dirinya hanya untuk taat kepada Tuhan, dan Tuhan kita, Allah swt memerintahkan istri untuk taat kepada suami. Ayah rasa, kamu sudah dapat kajian ini jauh lebih dalam dar ayah. Lanjut, wanita cerdas. Cerdas, bukan hanya IQ kamu yang sangat superior itu. Bukan hanya itu. Tapi, EQ dan SQ. Selalu punya jalan keluar ketika dihadapkan pada suatu masalah. Gak dibodoh-bodohin sama laki-laki. Pun karena cucu-cucu ayah berhak dilahirkan dari rahim wanita yang cerdas. Cerdas, maksudnya kreatif, inovatif, dan if if if lainnya. Selera humorjuga menentukan kecerdasan loh. Makanya, jadi wanita itu fleksibel, gak kaku, apalagi taklid. Boleh bergaul dengan siapa saja, tapi mesti cerdas memfilter siapa saja yang bisa diajak berteman. Cerdas itu bukan hanya berpikir lurus,ketika kamu berbeda dengan orang lain, punya cara pandang yang berbeda, toh jika semua bisa dicerdasi kan kamu tetap cerdas. Masalah attitude, agama kita sudah sangat komplit dihadirkan oleh Allah swt untuk menuntun ummatnya menjad pribadi yag berattitude. Mulai dari cara berpakaian, bicara, bertamu,makan, minum, apapun itu, semua sudah lengkap tanpa kurang suatu apapun. Lengkap juga dengan dalil naqli wa aqli nya. Tinggal kita bisa gak ngecover semua dan mengaplikasikan di kehidupan nyata. Intinya, kita diberikan secara adil oleh Allah, baik itu waktu, tenaga, fisik, dll. Pegang prinsip bahwa jika orang bisa maka saya bisa. Jadi wanita yang multitalented. Di suryuh ini,bisa,itu bisa. Ya, caranya mesti kepo dan belajar."

"Jadicuma dari pihak wanitanya aja ya, Yah? Kalo disuruh milih, mesti pilih laki-laki yang gimaana, Yah?"

"Ya, sama. Sama kaya yang Ayah bilang tadi. cuma ganti wanitanya sama laki-laki.
Periksa bacaan Qurannya. Masa dia cuma sayang kamu, sama Qurannya enggak? Lelaki cerdas malah sangat wajib. Lihat bagaimana cara dia memuliakan wanitanya. Apakah dia berusaha membuat kamu bahagia atau tidak? Toh, rezeki laki-laki tergantung pada wanitanya, Nak. Pilih laki-laki juga mesti lihat selera humornya. Aneh sih, tapi itu bisa menentukan dia cerdas atau gak. Ya kudu dilihat, humornya berkualitas atau abal-abal. Itu cuma contoh klise aja. Yang penting secara intelektualnya, dia berpendidikan. Berpendidikn bukan berarti titel akademiknya yang selangit tapi nyatanya omdo. Kamy bisa lihat bagaimana cara dia berbicara. Bisa dipercaya atau gak. Darisitu udah ketahuan cerdasatau gak. Memang, bisa nipu. Tapi kan, wanita makhluk paling peka. Sing penting juga setia. Kaya Ayah, tentunya. Yang berusaha bertahan sama-sama. Susah senang sama-sama. Yang bisa bikin tenang kalo ada di dekatnya. Bisa bikin hati susah jadi senang kalo dengar celotehannya. Duh, berasa hidup di surga."

"wihhh keren ya, Yah. InsyaAllah Yah. Orang langka kaya gitu mungkin perlu dibudidayakan Yah. Biar wanita yang lain juga kebagian. hahaha. Ayah, kalo suatu saat nanti, aku udah ketemu sama yang semacam itu, gimana Yah?"

"Lanjut M.Pd dulu, biar Ayah gak balik modalnyekolahin kamu. Kalo mau mondok, sekalian diajak 'habiib'nya mondok jamaah. Biar sama-sama wisuda Khatmil nya. Ya, bagusnya dia juga keukeh buat nyambung S2. Biar klop. Kan gak rugi bamdar jadinya. hehehehee."

"Gubrak. :) (pikiran mulai melayang entah ke mana)"

Udah ah, penat. Mau tidur, besok sahur.
Titip salam buat masa depan. *smile*

Selasa, 21 Juni 2016

Aku Hanya Siang yang Meranggas

Aku Hanya Siang yang Meranggas  
Entah dari mana harus aku mulai. Yang terang, ia tiba-tiba saja hadir menyelinap ke dalam mimpi. Menikam perlahan, hingga tak tahu siapa yang lebih berhak untuk tetap bertahan. Bertahan hanya ada dalam kamus mereka yang percaya. Percaya jika memang semua akan baik-baik saja, walau harus sedikit terluka. Percaya jika memang ia akan temui muara. Pasti, tapi entah kapan kan terjadi. Walhasil, kita harus tega untuk hanya menyebutnya ‘mungkin’. Sayang, bukan perihal sabar atau kepastian. Karena kita terlalu angkuh untuk memutuskan semua akan mejadi pasti seperti yang telah kita ingini. Bukan, sekali lagi bukan. Tapi, tidak ada yang salah dengan perasaan. Jika ia bisa saja hadir tiba-tiba, lantas salahkah jika ia bisa lenyap tiba-tiba? Memang, tidak ada yang salah dengan perasaan. Tidak ada yang salah dengan suratan. Yang salah adalah ketika kita masih berdebat tentang pertanyaan. Bukan mencari alasan untuk bertahan. Pada yang salah, kita hanya perlu memperbaikinya agar tak kembali salah. Pada yang benar, tidakkah kita ingin semuanya sama? Sama-sama memiliki alasan untuk bertahan. Bertahan dengan sisa-sisa yang belum sempat diungkapkan. Walaupun ia hanya bisa membunuhmu secara perlahan. Aku pun demikian. Aku hanya kuntum yang tak sempat mekar. Yang lelah harus mengubur dalam-dalam setiap keakuan hanya demi bertahan. Keyakinan yang memaksa aku begini. Yakin jika memang semua akan tetap baik-baik saja setelah begini. Setelah kita, bukan kita yang dulu. Tapi, yang seperti ini. Aku hanya matahari yang terburu-buru terbit di beranda hati. Berniat menerangi, namun harus rela terbakar api sendiri. Aku hanya siang yang meranggas sebab terlalu lama terbakar. Benar-benar terbakar. Sementara kamu. Kamu hanya sekam yang mulai memanas terbakar oleh aku. Kamu yang belum sempat menatapku lebih nanar. Dan akhirnya, kita sama-sama terbakar.  Sedang kamu hilang ingin menjadi abu dan aku tetap bertahan membakarmu. Membiarkan nyala kita akan tetap ada hingga aku benar-benar merasa kita ada untuk kita. Aku mengutuk diriku atas apa yang terjadi. Karena malam menyangsikan kehadiran akan aku yang sedang meranggas tanpa batas. Pasrah, tak pernah memuntut balas. Kita tidak perlu menarik masuk daun pintu yang sempat terbuka lebar. Jika hanya untuk bertamu, bukankah memang harus bertemu?

Minggu, 07 Juni 2015

Episode ke-n dari m cerita~

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

Ceritanya malam ini baru sadar kalo balik ke rumah lupa bawa *bukuPink* tempat muntahin cerita - cerita yang yaaah terkadang out of the box. Hihihi...
Padahal suasanya lagi dukung banget buat nulis...apa lobeh bauuut -____-

Beberapa waktu terakhir sempat diteror dengan beberapa  spesies pertanyaan dari teman - teman yang ngakunya suka baca tulisan, status atau apalah itu wujudnya..
"Na, sekarang lagi musim riliis novel. Gak minat buat bukuin puisi sama syair - syair Na yang melankolis abis tu ? Atau buat novel cinta kek, apa kek gitu yang cetar membahana badai ?" Cetusnya.
*teriakdalamhati* "Aku tuh udah nyiapin buku setebal 250 lembar buat nulisin itu cerita. Tapi rahasiaaaaaaaaa !!!!"
*aslinya* "oh yaya ? novelnya dari kisah sendiri atau ngadopsi kisah orang ?"
Mendadak hening...

"Aku bukan tipe yang begitu, tems. Please deh."
"Ya, setidaknya menginspirasi sebagian orang atau bisa jadi referensi, Na. Kan keren tu. Matematika bisa dikawinkan dengan ilmu sastra."
*senyuminAjalagiiii*

Well..
Di satu sisi sempat pengen buat novel yang terinspirasi dari sajak dan syair legendaris seorang Khaalil..but, when I try to look inside *fyuuuh* 'aku mati kutu untuk menceritakan kisahku' *tsaaaaaaah* :D

Di sisi lain ya itu tadi. Menulis emang perlu objek. Nah, itu dia masalahnya. Objeknya pun masih abstrak. Lebih abstrak dari akar negatif satu. kyakakakkakakak.

Maunya ini kisah emang bener - bener riil. Gak sekadar cerita picisan. Walaupun sederetan cerpen yang pernah dibuat itu semuanya sad-ending yaaah never mind.

"Duh, tems. Tunggu aja yaaah... ini lagi nunggu script dari Tuhan. Hehehe."

Gambarannyaaa, di buku ini aku menulis semua hal (sedetail - detailnya) tentang aku, dia, mereka, dan Tuhan yang sudah begitu sayangnya ngasih kesempatan buat nulis ceritanya.

Sebab aku menyandingkan setiap diksi - diksi yang ada di tiap pelaminan buku yang kutemui dengan hati. *eakeakeakeak*

"gak ngerti, Na."

Cinta itu terlahir dari skenario nyata yang pernah kita jalani sebelum kita hidup di dunia. Di sadari atau tidak, ya memang begitu adanya. Dan dengan setiap kebijaksanaan serta kesungguhan, rasanya tak ayal jika kita masih bertanya - tanya tentang sambungan ceritanya.
Contoh, have you ever felt "de javu" ?

"Lah, apa hubungannya, Na ?"

Itu istilah kaum seberang untuk menyebut kondisi di mana seseorang merasa pernah merasakan atau mengalami suatu hal sebelumnya yang sama dengan kondisi yang sedang terjadi.

Sungguh, aku mengangkat ceritanya dari sana....
Bukan kisah yang mengimahinasi dengan indahnya, bukan.
Aku kan terus menceritakannya selama Tuhan mengizinkan. Hingga akhirnya akan bermuara pada sebuah cerukan raksasa yang nantinya akan berakhir suka atau bahkan duka. Suka, jika yag didapatkan sesuai pengharapan. Duka, sebab yang didapatkan tak sesuai harapan. Tapi, sebagai sebaik - baik hamba. Kita mesti sadar diri, kerana Tuhan ialah sebaik - baik yang menakdirkan.

"Oh...jadi, kapan ?"

"aaaaaaaaaaa !!!!! tanyain aja ke Tuhan."

sempat shock terapi kalo direspon ini-itu.
kadang geregetan, lucu, kocak, galau. Ah, apa itu galau ?!!
Gak, cuma bimbang.
-__________-

Setiap orang toh punya jurusnya masing - masing, kan yaaah ?
Ada yang normal dan ada juga yang abnormal.
Setidaknya kedeweasaan kita tidak lahir secara prematur.
21 tahun dengan 9 tahun, mudaan manaaah ?

"Sableng."
 *end*


Dan gak kebayang kalo Papa tahu anak gadis sulungnya ternyataaaaaa......
Ah, Papaaaaaaaaaahh :'(

Yang itu, gitu gitu gitu Pa. Yang ini, gini gini gini Pa.
"Lah, terus ?"

"Kamu ngomong apa toh, nak ? Apa kabar beasiswa S2 ? Jadi mondok atau ke Belanda ???"

Papaaaaa gitu mah orangnya.

"Pa, aku udah dewasa ?"

"Lah jelas, belum."

Terus itu cerita yang dibuku udah mulai nampak ujungnya, tapi pas dengar pengakuan ekstrim dari Papa, rasanyaaaaaaaaaaa.

"Udah, terusin aja." Mama emang gitu orangnya.

Solok, 7 Juni 2015.
-lasttouching- 23:48
*sepertinyaurangSolokmemangbenar-benarmempesona*

Jumat, 03 April 2015

Wahai Cinta

Jika ada yang lebih mulia dari menyebut namamu dalam doa di sujud panjangku, maka ajarkan padaku yang kau sebut mulia itu.
Jika ada yang lebih mulia dari diam menunggu penuh harap pada Tuhan Yang Rauf atas jutaan sedan dan sendu, maka tunjukkan padaku yang kau sebut mulia itu.
Jika ada yang lebih mulia dari merapikan mimpi dengan tuntunan sabda Illaahi, maka tuturkan padaku yang kau sebut mulia itu.

Wahai Cinta...
Sedalam apapun samudera yang telah Rabb cipta, kupastikan lebih dalam isak yang kutahan untuk setiap pinta yang Allaah tangguhkan.
Setinggi apapun lapis -lapis langit yang telah Rabb cipta, kupastikan lebih tinggi cita yang kulayangkan untuk setiap 'aamiin' yang Allaah janjikan.

Wahai Cinta...
Aku memaknaimu bukan dari kertas putih yang berhiaskan tinta.
Bukan.
Aku memaknaimu dari bulir gerimis di ujung mata saat kusungkurkan setiap jengkal kehina-dina-anku pada Yang Mahasempurna.

Wahai Cinta...
Aku memaknaimu bukan dari celoteh panjang tentang cara dirimu memaknai kehidupan.
Bukan.
Aku memaknaimu dari setiap napas syukur yang yang kau sembahkan pada Tuhan atas hadirku sebagai insan penyempurna yang kelak Tuhan takdirkan.

Solok, (masih) -Rinai Senja di Ujung Mata II-
@ysrnftr

Sabtu, 21 Maret 2015

Renungan Sabtu Malam

Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa-- kata Allaah...
Apa kita masih tak percaya ?
Hakikatnya seorang hamba yang diuji oleh setiap senti dahaga dunia. Begitulah memang adanya.
Ujian. Harta, tahta, dan cinta. Jika Allaah uji kita lewat harta yang kita punyai sedang kita mampu melaluinya, mampu lulus dari ujian-Nya, maka Allaah akan berikan ujian di ranah yang berbeda pada kita. Allaah tahu sebatas mana hamba-Nya mampu menjawab dan melalu setiap petakan amanah dan karunia yang Ia beri.
Allaah uji kita (lagi). Kali ini bukan lewat harta, melainkan tahta, kedudukan, jabatan, populariatas, dan segenus dengannya. Ternyata tak berpengaruh apa - apa dengan sang hamba. Ia tetap tekun mengamalkan setiap apa yang diinstruksikan Rabbnya dan meninggalkan amalan buruk tersebut sebab ia tahu Allaah tepat mengujinya. Hingga pada akhirnya Allaah memuarakan ujian-Nya pada cinta yang telah mendarah daging dalam ruhiyah dan jasadiyah kita.
Ternyata, subhanallaah. Cinta ternyata mampu mengubah semuanya jika tanpa landasan yang telah Allaah Sang Mahacinta syariatkan kepada kita. Sempatkah kita berpikir ? Allaah menguji hamba-Nya agar nantinya ujian ini akan menjadi jembatan penghubung secara vertikal antara Yang Mencipta dan yang diciptakan. Antara Ia Yang Mahasempurna dengan kita yang hina dina.
Lewat ujian Allaah telah memanggil kita, menghimbau agar kita mendekatkan diri pada-Nya. Karena mutlaknya, hanya Allaah Yang Maha Segala - galanya. Mulai dari apa yang belum kita niatkan hingga kepada apa yang sedang dan bahkan sudah kita niatkan.
Hanya saja kita yang tak peka. Pada saatnya iman yang tertanam subur tadi sekarang mendadak kerontang karena galau mencari solusi masalah sendiri. Sibuk dengan kerisuhan diri dan tak mampu berdamai dengan kondisi.
Menjadi insan paripurna memang begitu prosesnya. Menjadi yang ideal, yang pas, dan yang sesuai. Begitu pula Allaah memberikan ujian tadi berbanding lurus dengan kemampuan kita. Kerana Allaah takkan uji hamba-Nya melainkan sesuai dengan kadar kekuatan dan kesanggupan hamba-Nya. Lantas, apa yang kita perbuat ? Allaah....sesuai sangkaan hamba-Nya. Baik buruknya tergantung pada kita.
Semoga ujian ini tak lantas membuat kita malah semakin menjauh dan menyalahkan Tuhan.
Harusnya mampu memberi ruang kosong yang baru untuk tempat keningmu menempel dalam tahajjud ilallaah.
Semoga ujian yang singgah sementara kepada kita mampu menjadi lembar kupon berhadiah mendapatkan surga yag nanti kan dipertanggungjawabkan dengan laporan yang kita 'pesan' ketika di dunia.
hadapi...hayati...nikmati...
Tak usah penat - penat memikirkan solusi hingga menjadikan kita lupa bahwa kita ini siapa ? Sedang di sisi lain Allaah menyuruh kita untuk Shabar dan Shalat.
Karena nikmatnya baru akan terasa kalo pake hatiii...
Allahu 'alam bishshawab.

Kamis, 05 Maret 2015

~Menanti Bulan~



Rabb...
Dengan segenap kejujuran dan kerendahan...
Semuanya akan kuluruhkan...
Beralaskan pasrah pada takdir-Mu...
Kini membuatku terbujur kaku...
Aneh...
Dengan perasaanku sendiri pun aku sudah tak mau tahu...
Rasa – rasanya dunia penuh sesak dengan ‘orang gila’...
Atau malah aku yang sudah ‘gila’ ?
Aku terhenyak oleh kenyataan yang ada...
Ternyata aku sedang bermimpi demi menghibur kalut dalam diri...
Rabb...
Dengan segenap welas dan hina dinanya diri aku merayuMu...
Di atas sajadah hijau muda dan pada malam yang sudah mulai nampak tua...
Jalan kini sudah tak tampak kemana arahnya...
Kian hari kian hilang senyum di pendar purnama...
Rabb...
Aku bukan inginkan sang bulan, walau memang kini diamku  pertanda kurindukan bulan...
Rabb...
Aku bukan inginkan waktu dan jarak yang bisa kuhitung dengan tangan, walau memang kini yang kubutuhkan adalah sebuah pertemuan...

Padang, 5 Maret 2015
21:45 WIB
#menantiBulan

Senin, 16 Februari 2015

Malam Muda

            Aku masih terus mengayuh pedal mungil hitam sambil tersenyum sumringah pada langit kelam tanpa hiraukan butiran - butiran peluh yang berebut jatuh. Tembakan lampu sudut kota semakin memberiku cahaya. Seolah - olah aku ini adalah gadis malam muda. Angin yang datang hanya bisa mengusikku manja. Tanpa salam pembuka bahkan sepotong sapa. Jembatan Minang tampak lengang. Hanya satu dua kendaraan yang berlalu lalang. Ah... Ternyata begini rasanya jadi gadis malam muda, terdampar di sudut kota tercinta.
             Malam ini memang di luar rencana. Celakanya, bagaimana pun aku menjauhi dunia, wajahnya masih tersangkut di pelupuk mata. Sebenarnya bukan salah indera. Bukan salah siapa - siapa. Apalagi salah angin yang sejak tadi hanya lalu tanpa menyapa. Mungkin gundah gulana sedang lelah tinggal menyemak di dalam dada. Ia juga ingin menikmati betapa indahnya menjadi bahagian dari malam muda.
             Pada genangan air raksasa yang belum tampak riaknya aku mengadu syahdu. Malam ini, aku masih teringat tentang dirimu. Berusaha menelan pahitnya rindu, terlebih manisnya semangat kala itu. Aku hanya bisa mendengar aspal jalan sedang menertawakanku. Pelik memang. Hingga langit pun tak memberi restu. Atau ini memang jalan takdirku. Bukan berarti aku harus melupakanmu.
            Sakit mengajarkanku akan arti sehat. Sehat yang terlihat maupun yang tak terlihat. Waktu mengajarkanku arti sabar. Sabar menanti kabar yang kelak kan indah tuk kita dengar. Jarak mengajarkanku arti rindu. Rindu menunggu saat bahagia jika suatu saat takdir kan menghantarkanku berdiri tepat di belakangmu bukan di sampingmu. Kehilangan mengajarkanku arti memiliki, walau sejatinya aku tak berhak atas nikmat yang telah Tuhan beri. Sendiri mengajarkanku arti kebersamaan. Bersama walau kita tahu Tuhan tengah menyiapkan cerita yang kelak akan kita nilai sempurna.
            Wahai penghuni malam, akulah gadis malam muda. Bukan gundah karena galau sudah kepalang tumpah. Wahai penghuni malam, akulah gadis malam muda. Bukan nelangsa karena tak punya rasa. Tapi hanya sedang menjinakkan hati, agar aku tahu diri.


Jembatan Minang, Padang, 16 Februari 2015
19.30 WIB
-setelah rinai reda-

Minggu, 15 Februari 2015

Syair Penantian



Mungkin ada dari bagian cerita yang harus kita jemput masing – masing. Tentu dengan cara yang berbeda. Melawan dan memusnahkan kegalauan yang beranak – pinak dalam sanubari. Memutuskan tali silaturrahiim dengan rindu yang menggebu – gebu. Dan pada akhirnya, kita bisa hidup normal seperti dulu.
Aku kini tengah berjuang menjemput cerita yang menjadi bias dari cerita lama. Menghidupkan kembali pesona yang hilang tertimbun masa dan gundah gulana. Serta pada akhirnya, aku sendiri yang akan mengaku padamu bahwa yang kurasakan hingga detik ini adalah CINTA.
Mulai kususun periode demi periode yang akan jadi saksi cerita kala nanti. Sangat rapi. Memberi jarak antara kita senti demi senti. Walau aku sebenarnya tahu Tuhan Mahateliti atas apa yang bersarang di dalam hati. Akan tetapi, jangan risau. Kita akan segera membunuh galau. Hingga yang akan kita lahirkan nantinya adalah bintang gemintang yang senantiasa berkilau kemilau.
“Berhakkah kita merasa lebih arif atas cinta daripada Allaah SWT Yang Mahaarif dengan penciptaan-Nya telah menitipkan rasa cinta tuk bersemayam selamanya dalam hati kita ?”
Untuk saat ini biarkan saja aku mati – matian menahan kegalauan. Memanjakannya dengan puisi – puisi cinta dan syair – syair picisan. Lalu, kutengadahkan tangan senantiasa merayu pada Tuhan, semoga untuk kita adalah sebaik – baik yang telah Ia takdirkan...
Selasa, 10 Februari 2015
18:20 WIB
-di balik relief Masjid At – Taqwa-

Jumat, 16 Januari 2015

-Cintaku Tak Selembut Merah Jambu-

 Taraaaaa.......!!! Ini cerpen pertama waktu SMA sekaligus cerpen pertama yang dapat 'juara' pas Pekan Lomba Bahasa dan Sastra tingkat Provinsi Bengkulu :') bangganya sedikit, walaupun tulisannya gak bagus - bagus amat, sing penting NULIS ! :) :D



CINTAKU TAK SELEMBUT MERAH JAMBU
Yusrina Fitria


“Kak, bantu aku menyelesaikan tugas lukisku ini ya, aku capek.” Dia mengejutkan aku dari belakang sambil menyodorkan lukisan setengah jadi itu ke wajahku.
“Kau tak lihat aku sedang apa ?“ Suaraku memecahkan keheningan malam itu. Dia sontak terdiam.
 “Lebih baik aku menyelesaikan tugasku daripada melanjutkan lukisanmu yang abstrak ini ,” sambungku lagi.
Ku arahkan pensil 2B ku yang sudah tinggal setengah batang lagi sambil menusuk – nusukkan jariku ke lukisan yang tak mau ku teruskan itu.
“Kalau aku tak pusing berat seperti ini pasti aku akan lanjutkan lukisan jelek ini, Kak. Aku hanya ingin mengistirahatkan kepalaku yang rasanya mau pecah ini !” Tangga nada suaranya sontak meninggi. Menggema di kamarku yang hanya ada kami berdua.
Detik itu juga embun dari matanya berubah menjadi titik – titik hujan yang membanjiri ruangan sempit itu.
“Apa aku salah ngomong ? Gak kan ?”
Aku tak pernah lupa kejadian 6 tahun lalu yang menghapus gores demi gores kata sayangku untuknya.  Saat dia menumpahkan kehangatan teh cap Bendera yang sengaja dibuatnya untukku malam itu ke buku yang setengah mati ku isi dengan jutaan angka. Buku tugas bersampul kacang yang sudah habis usia akibat tangan adikku sendiri. Semenjak saat itu aku sembunyikan dendam yang bukan main parah. Sakit hatiku menggunung. Menangisi lembar demi lembar soal matematika yang ukirannya tak bisa lagi dibaca. Rasakan olehnya bila tugasnya tak selesai. Dulu, dia hanya beri aku sepotong kata maaf dan segelintir permohonan yang sampai saat ini belum bisa menyurutkan gelombang amarahku.
“Zahra ! Kenapa kau tak mau bantu adikmu ?” Aku kenal suara itu. Itu suara ibu.
“Ya, Bu ? Kenapa ?” Aku melangkah kecil ke pintu kayu kamarku untuk menjawab sahut pertanyaan yang sebenarnya malas aku jawab.
“Kau tidak lihat ? Adikmu ini sakit.” Lagi – lagi ibu membelanya.
“Tutup buku tugasmu ! Lanjutkan lukisan adikmu ini ! Tidak ada kata tidak mau. Untuk apa dia punya kakak, kalau masih aku juga yang membuatkan tugasnya ?” Ibu kelihatan amat marah melihat Sahara yang tak bisa menahan  tangis karena egoku.
Terlahir dengan nama Zahra Yahya membuat aku tidak pernah merasa bahagia. Predikat ‘Yahya’ yang aku pakai hingga alam kuburku nanti tidak pernah menjamin hidupku akan menggoreskan tawa. Jangankan tawa, senyumpun aku tak pernah. Selama 17 tahun bernafas aku masih merasa namaku hanya Zahra saja. Tak perlu gelar Yahya. Bagaimana tidak, aku disebut anak kandung seperti yang tertera di surat tak berguna yang orang sebut itu akta kelahiran. Akan tetapi, aku tetap merasa seperti bayi yang lahir tanpa orang tua. Dibungkus daun pisang dan ditelantarkan di ujung jalan. Menunggu belas kasihan orang yang akan memungutku. Sampai akhirnya aku bisa disuapkan makan dan diberi sepotong baju dari keluarga Yahya ini. Itu hanya rasa – rasaku saja yang terus meratapi betapa besar pohon diskriminasi itu tumbuh dan tak akan pernah mati dalam keluarga yang dipimpin oleh Ummar Yahya ini.
Sebagai anak sulung, aku harus tunduk tiap detiknya kepada adik perempuan semata wayangku, Sahara Yahya. Umur kami hanya terpaut satu tahun saja. Ini adalah keterbalikan fakta yang orang jumpai di keluarga janggalku.
“Sebesar apapun kesalahan Sahara, apapun yang dilakukan Sahara, tetap Zahra yang harus mengalah !” Kalimat ini membuatku tak berkutik. Menundukkan kepalaku dengan segala ketidakberdayaanku. Bila aku sudah menamatkan impianku menjadi pemilik gelar SH nanti, aku akan duduk di bangku dewan yang orang sebut si pembuat peraturan. Aku akan ubah kalimat – kalimat ibu yang mengiris – iris hatiku ini.
Aku sadar bahwa rasa cinta dan kasih sayangku yang tulus yang kupikul demi keluarga Yahya ini hanya sekadar penyedap rasa. Haruskah aku bergelut dengan ketidakadilan yang membinasakan tiap lontaran kata – kataku ? Pantaskah predikat Yahya itu bersanding dengan sebuah kata Zahra ? Ini bukan cinta merah jambu. Ini cinta yang berakhir cemburu. Aku cemburu melihat ibu yang menyuapi makanan ke mulut Sahara. Aku cemburu melihat hukum diskriminasi dalam keluarga ini seperti menggerogoti urat – urat sarafku, dan itu hanya berlaku untuk aku. Aku cemburu melihat adik yang bermain dan bersenda gurau dengan kakaknya di luar sana. Aku cemburu melihat ayah yang membawakan tas untuk  Sahara. Aku cemburu saat melihat ibu memakaikan kerudung ke kepala Sahara. Tuhaaaan.... Kapan aku diperlakukan seperti itu ?
“Bu, Zahra berangkat sekolah dulu, assalamualaikum...”
Aku langsung keluar rumah dengan mengarahkan bola mata ke arah pintu. Pagi itu tak tampak reaksi ibu yang akan memberi kecupan untukku. Inilah yang biasa kusebut ironi merah jambu.
Sampai di sekolahpun aku masih bertanya – tanya dalam hati. Apa memang ibu sudah tak menyayangiku lagi ? Kuhapus perlahan embun – embun di ujung mataku yang terasa dingin tak sedingin kasih ibu padaku.
“Kenapa mukamu Zahra ? Aku timpuk pake buku ya biar gak melamun lagi. Pluuuk ! ”
“Auww... Sakit Fathir ! Kamu gak ada kerjaan ya ? Lebih baik kerjakan tugas matematikaku ini. Aku gak sempat lagi membuatnya karena sibuk menyelesaikan lukisan adikku. Tolong ya.” Ku keluarkan buku kotak – kotak warna kuning itu dan langsung ku letakkan di atas meja Fathir sambil memberi satu senyum gratis untuknya.
“Kamu baik sekali sama Sahara, biasanya berantem terus. Kamu gila ? Tugas matematika itukan banyak ?”
Ku bungkam mulut Fathir yang terus mengeluarkan komentar – komentar tak bermutu itu dengan 3 potong pergedel jagung yang sengaja ku buat pagi tadi. Aku tahu, kalau sudah bicara pergedel, Fathir pasti bungkam sejuta kata dan langsung mau membantuku.
Fathir Hasbi, bintang kelas, teman sebangku, sahabat karib, dan cinta pertamaku.
Bercerita tentang Fathir berarti sama saja membongkar habis aib kisah cinta seorang Zahra Yahya. Bayangkan saja, aku sudah mengenal Fathir sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas satu dan aku adalah satu – satunya orang yang selama enam tahun setia duduk di sebelahnya. Selama itu aku tak pernah mengenal yang namanya cinta. Walau sebenarnya aku haus akan cinta.
Semenjak ditakdirkan sebangku lagi di sekolah menengah pertama yang sama dengan Fathir, tepatnya waktu itu kami baru memulai tahun ajaran baru kelas IX. Awal kelas IX itu menggugah keremajaanku yang selama ini beku. Momentum merah jambu ? Siapa yang lupa akan tanggal 14 Februari ? Dihari serba merah jambu aku selalu menunggu laki – laki berhidung mancung itu memberiku sebatang coklat. Tapi, itu adalah mimpi yang tak kunjung jadi nyata. Sampai hari dimana seluruh dunia tersenyum menghiasi liku – liku cinta mereka dengan mawar merah dan sebentuk hati untuk pujaan hati mereka tahun itu, ku lihat Fathir membawa sebungkus permen coklat minimalis. Dengan tulisan yang tak bisa ku baca lagi karena tintanya sudah memudar.
“Ra, lihat ini. Kau tahu ini apa ?” Dengan suara seperti orang sudah menangis dia menyapaku perlahan.
“Ini adalah pemberian terindah dari wanita yang paling kucintai dan kusayangi di dunia ini. Aku tak akan pernah menggantikan kedudukannya di dalam hatiku yang kecil ini.” Wajah Fathir nampak mendung sambil mengarahkan bungkusan permen coklat warna merah itu tepat di hadapanku. Diambilnya tanganku dan diletakkannya di dadanya yang bidang. Mungkin dia hanya meyakinkan aku, inilah hatinya, hati Fathir.
Aku mulai tak tentu berpikir. Darahku seperti berhenti mengalir. Otakku terus berotasi, siapa wanita yang beruntung itu ? Apa itu aku ? Sepertinya aku bermimpi lagi. Jelas saja wanita itu bukan aku. Kutundukkan kepala sebagai bentuk aku turut merasakan kesedihannya, walaupun kenyataannya arti tundukanku itu adalah sebuah keputusasaan. Detik itu kumerasa harus melupakan Fathir. Fathir menyukai orang lain.
“Kau ingat ibuku, Ra ?”
“Ya, kenapa dengan ibumu?”
Aku angkat pelan – pelan daguku. Aku bingung. Apa hubungan antara wanita itu dengan ibu Fathir ? Apa mereka berdua sudah dijodohkan ? Hatiku hancur dalam hitungan detik. Ibarat gedung tua yang runtuh seketika.
“Coklat ini. Coklat ini pemberian ibuku. Wanita yang paling aku cintai di dunia. Sekarang wanita yang ku puja itu ada di rumah sakit. Kau bisa bayangkan jadi aku kan Ra ? Aku tak mau kehilangan ibuku. Dia adalah hidupku.”
Dua bulir embun itu jatuh dari ujung mata Fathir yang telah mengalihkan duniaku. Bulir yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Kali ini aku seperti melayang di surga. Ternyata wanita yang kucurigai itu adalah ibunya sendiri. Keputusasaan yang aku terbangkan tadi langsung ku tangkap, ku ikat kuat – kuat, dan tak akan pernah ku terbangkan lagi. Aku bingung. Aku harus senyum atau ikut tenggelam dalam lautan bulir itu ? Rasanya ingin sekali aku jatuhkan tanganku ke pundaknya. Rasanya aku ingin hapus bulir yang membasahi relief pipinya.
Ibu ? Pikiranku berlari ke arah pohon diskriminasi itu. Fathir menjatuhkan bulir mutiaranya demi ibu ? Sedangkan aku ? Aku menangisi ibu karena ibu tak pernah mengerti aku. Aku coba menyatu dalam detak jantung Fathir. Kuhentikan aliran bulir itu sejenak.
“Sudahlah,” kataku lemah. “Aku mengerti tentang perasaanmu. Kita sebagai anak hanya bisa bersabar dan berdoa kepada Tuhan agar Ia memberi yang terbaik untuk ibu yang kita sayang.” Aku tak tahu bagaimana menghiburnya, sedangkan menghibur diriku sendiri saja aku sudah tak mampu.
“Aku takut kehilangannya, Ra.”
Aku tak tahan melihatnya menangis. Baru kali ini aku melihat laki – laki menangis walau hanya tangisan ringan. Tapi ini beda. Berhasil menyentuh lapisan terdalam hatiku, menembus hati yang berlapis – lapis.
“Hapuslah air matamu itu. Kau sudah besar, Thir.” Kalimat yang ku gunakan untuk menghibur hatiku dan Fathir yang kurasa sulit untuk direalisasikan.
Ibu. Sewajarnya Fathir takut kehilangan ibu yang selalu memahami perasaannya. Tapi ibuku, wajarkah aku takut kehilangannya ? Jangankan memahami, memberi segaris senyum saja rasanya amat sulit. Kubawa ingatanku ke tujuh belas tahun yang lalu. Jika ibu yang melahirkan aku, apa aku pantas disebut anak yang baik di mata Tuhan bila aku sendiri tak pernah meneteskan darah dari mataku karena takut kehilangan ibu ? Sejujurnya, hidupku ini hanya karena ibu. Dari pesan Tuhan aku dilahirkan lewat rahim pertamanya. Melewati masa kritis antara hidup atau mati. Seharusnya jangankan untuk kehilangan, tak melihat sebentar saja aku rasanya rindu akan nyanyian masa kecilku yang dihadiahkan ibu. Walaupun mungkin kasih ibu hanya untuk Sahara. Tapi, apa aku tidak pantas mendapatkan satu pelukan saja ? Sudahlah, lupakan.
Bel pulang adalah satu – satunya bunyi yang paling kubenci. Itu tandanya aku harus berpisah dengan Fathir. Hal yang paling membuatku malas beranjak dari tempat duduk adalah suasana gua dan pohon diskriminan keluarga Yahya itu.
Di perjalanan pulang kutemui ibu tua yang sedang menggendong seorang anak kecil dengan pakaian yang tak layak digunakan sambil menjulurkan tangan kanannya meminta belas kasihanku. Aku langsung teringat ibu.
“Nak, kasihani anak ibu. Dia sakit, belum makan dua hari.” Ibu tua itu mengerutkan dahinya yang sebenarnya sudah kerut.
Aku diam sejenak. Ibu ini meminta kepadaku bukan untuk makannya, tapi untuk makan anaknya. Pikiranku langsung sampai ke rumah. Membayangkan bagaimana kalau ibuku di posisi ibu tua itu. Dengan mengusap air mata yang turun tiba – tiba kugali kantung bajuku dalam – dalam. Syukurlah masih ada uang pecahan dua puluh ribu. Mungkin ini tidak cukup, tapi semoga saja ibu tua itu tak marah karena aku hanya beri dia satu lembar uang saja.
Kutatap mata yang sudah berumur itu dalam – dalam. Dia tak mengatakan apa – apa selain terima kasih. Tapi aku bisa lihat, sambil dia berjalan meninggalkanku dia mengangkat tangan selayaknya orang sedang berdoa. Aku terharu. Hari itu seperti hari titipan dari Tuhan yang mungkin sengaja diberikan untuk menyirami keberapian cemburuku akan mereka.
“Hari ini aku harus berubah. Tuhan, aku sadar ini adalah teguran. Aku harus minta maaf kepada mereka. Aku yakin, siapapun aku, anak kandung atau anak angkat, pasti orang tuaku sayang kepadaku. Terutama ibu. Mana mungkin aku disekolahkan sampai setinggi ini, dibesarkan seperti ini kalau mereka tak sayang padaku.” Aku berbisik sendiri mengusir jauh – jauh energi negatif yang selama ini tertidur lelap dalam rasa cemburuku.
Ku ayunkan kaki pelan – pelan hingga akhirnya sampai di depan rumah. Senyum Sahara sudah sampai lebih dulu.
“Sudah pulang kamu, Kak ?” Sahara menyambutku di depan pintu rumah seraya mengenakan jilbab merah jambu.
“Iya. Kau suka sekali memakai warna itu. Apa tak ada warna lain yang lebih enak dipandang ?” Jawabku sambil duduk di teras dan membuka sepatu kulit ukuran 40.
“Terserahlah, Kak. Kakak tak pernah bosan menanyaiku tentang itu,” jawabnya.
“Pasti Kakak tahu aku akan jawab apa. Ini warna kesukaanku. Apa yang salah dengan warna ini ? Ah, sudahlah !”
Sahara sepertinya marah padaku. Berpaling membelakangiku dan bergegas lari ke dalam rumah. Mungkin dia bosan mendengarkanku bersenandung ria dengan muka kesal sampai membuat amarahnya memuncak karena aku tak pernah suka melihatnya memakai warna terkutuk itu. Banyak hal yang membuatku benci warna itu. Tapi sulit untukku mengurai alasan yang mungkin orang anggap tidak rasional.
Belum sempat aku duduk menghela napas dari perjalan menuntut ilmu tiba – tiba ibu sudah tiba datang dengan amarah, menyuruhku membereskan rumah. Sekali lagi, alasannya adalah Sahara sedang sakit.
Ku ambil sapu dari ijuk dengan tangkai biru sambil mengelap mukaku yang bergelimangan keringat dan sedikit asin. Kumulai langkah pertama menyapu ke kamar ibu. Baru saja aku hendak mengayunkan sapu tidak sengaja kulihat selembar kertas berkop surat dari sebuah rumah sakit. Kugerakkan telunjuk ke arah bawah kertas yang bertulisan hitam tebal.
Sahara Yahya, positif kanker otak stadium 3.”
Apa ? Hujan lebat itu datang seperti dimohon jangan surut membasahi kertas yang memberhentikan detak jantungku. Gemuruh petir bersahut – sahutan dalam area jantungku. Kudengar langkah ibu yang sepertinya ingin masuk ke kamar. Langsung kuhapus bulir demi bulir air mataku, kulipat cepat kertas itu dan ku buat suasana seperti tak terjadi apa – apa. Ibu masuk ke kamar dengan sepiring besar ayam bakar manis kesukaanku. Dia tersenyum. Tak biasanya dia memberi selengkung senyum.
“Ini untuk siapa, Bu ? Pasti untuk Sahara.” Aku seperti diundang bicara kepadanya.
“Bukan, ini untuk kamu. Apa kamu lupa ini hari ulang tahunmu ? Selamat ulang tahun yang kedelapan belas ya anakku sayang.” Ibu meneteskan air matanya. Didaratkannya sebuah ciuman yang baru pertama kali kurasakan hangatnya. Inilah mimpi itu. Mimpi itu jadi kenyataan. Aku saja lupa dengan ulang tahunku. Aku teringat lagi dengan kertas yang menyayat – nyayat hatiku tadi. Sahara. Mungkin dia sengaja menungguku di depan pintu tadi. Pasti dia ingin mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Tapi, karena aku memarahinya... Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan ?
Hari ini benar – benar adalah surga dunia pertamaku. Aku benar, ibu ternyata sayang padaku. Kado ulang tahun terindah seumur hidupku.
Pagi itu Sahara tanpa permisi masuk ke kamarku sambil berlari.
“Kak, ini. Baca di sekolah ya. Salam sama Kak Fathir. Bilang sama dia kalau kau menyukainya. Janji ya !”
“Hah ? Surat ? Suka dengan Fathir ? Gila !” Belum sempat aku menjawab perkataannya langsung saja dia lenyap seketika dari belakangku. Aku bergegas pergi ke depan jalan untuk menunggu angkutan umum. Pagi ini aku sengaja tidak jalan kaki karena ingin segera membaca surat dengan amplop warna terkutuk itu.
Ku buka surat itu hati – hati.
Hatiku, 18 Mei 2007
Untuk Kak Zahra tercinta,
Selamat ulang tahun Kak. Hari ini aku tahu adalah hari terindah dalam hidupmu. Kau tahu, aku sangat menyayangimu, aku sangat mencintaimu. Jika kau tahu bahwa aku tak henti – hentinya meneteskan air mata saat menulis surat pertama untuk orang terbaik sepertimu. Di manapun aku, sedang apapun aku, aku selalu berdoa kepada Tuhan agar kau diberi kepanjangan umur. Maaf Kak. Bila selama ini aku selalu menyusahkanmu. Mungkin Kakak tak tahu, ditiap gelap malamku aku selalu bersujud dalam Tahajjud berdoa untuk Kakak dan ibu. Aku terus berusaha menjadi adik yang terbaik untukmu dan menjadi anak yang tidak bermanja ria kepada ibu. Sampai akhirnya aku memberanikan menulis surat ini sebagai bukti aku sangat menyayangi kalian. Ingat Kak, cinta itu tak kuning seperti yang kau bayangkan. Cinta itu tak bisa dilukiskan dengan warna. Kau bilang cinta itu akan mati seketika orang yang mencintainya mati ? Tidak. Cinta aku dan ibu kepadamu tak akan pernah mati. Bila suatu saat nanti aku tidak ada, mungkin kau tak akan punya teman untuk bertengkar lagi. Mungkin kau akan diam membisu karena tak punya orang yang harus dimarahi gara – gara si merah jambu lagi. Aku juga akan menyesal karena belum sempat memeluk dan mencium orang yang kusayang, dan itu adalah Kakak. Aku ingin sekali Kakak memakaikan kerudung merah jambu ke kepalaku. Andai saja....
Oh ya Kak. Maaf aku sudah lancang membaca diarimu. Aku tahu kau menyukai Fathir. Bilanglah padanya kalau kau menyukainya. Sebelum dia akan pergi meninggalkanmu. Jangan sia – siakan orang yang ada di sampingmu, Kak. Jaga ibu baik – baik. J J J J J
AKU MENCINTAIMU...
Peluk ciumku

Sahara Yahya

Tetes demi tetes kujatuhkan embun mataku saat membaca tulisan indah itu. 18 Mei ? Berarti benar dugaanku. Hari itu dia ingin mengucapkan sesuatu. Menyesalnya aku memarahinya tiga hari yang lalu. Bayanganku kembali mengarah ke surat yang menyatakan bahwa Sahara positif kanker otak stadium 3. Apa ini sebuah pertanda ? Ya Tuhan, kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Surat itu kututup dan kucium dengan penuh perasaan membayangkan bahwa aku sedang mencium dahi sang penulis surat.
Bel pulang berbunyi. Kugerakkan dengan cepat kakiku, tak sabar ingin bertemu Sahra dan ibu. Dari jarak jauh kulihat bendera kuning berkibar. Aku menyangka ada orang sedang membuat pesta pernikahan. Tapi aku rasanya terjatuh dalam curamnya jurang yang melenyapkan senyum kebahagiaan tiga hari yang lalu. “Bendera kuning itu tanda kematian !” Seketika kuteringat Sahara. Semakin mendekat. Bendera itu tepat dipasang di depan rumahku. Kulihat kerumunan orang berusaha mengelus punggungku. Rasa bersalahku semakin menguap. Apa yang terjadi ? Ibu berlari dari dalam rumah menghampiri dan memelukku dengan mata merah yang bergelimangan mutiara amat pilu.
Apa yang sebenarnya terjadi ? Di mana merah jambuku ? Di mana dia ? Dia tak tampak dari tadi. Aku tak bisa menahan lagi rasa bersalah ini. Sahara telah pergi. Sahara adikku. Si merah jambuku.
Ku lepaskan pelukan ibu dan berlari ke dalam mencium seluruh wajah pucat adikku yang hanya tinggal jasad.
“Sahara, jangan tinggalkan kakak!” Penyesalanku tak terbendung lagi. “Kakak janji tak akan marah kepadamu lagi. Kakak mencintaimu Sahara. Kakak akan memelukmu, menciummu, dan memakaikan jilbab merah jambu ke kepalamu. Bangunlah. Temani kakak. Kakak hanya sendiri di sini. Jangan pergi !!!”
Aku berteriak histeris sambil memeluk tubuh manusia yang dari tadi tak menjawab teriakanku. Ibu berusaha menarikku. Memelukku erat sambil memberikan sehelai  jilbab warna kesukaan Sahara.
“Sebelum dia pergi, dia titip ini untukmu. Ibu tak tahu apa maksudnya.”
Suara ibu masih tak jelas terdengar karena bercampur tangis yang menusuk – nusuk hati. Aku tak tega melihat ibu menangis. Langsung kugapai jilbab itu dan aku pakaikan ke kepala Sahara. Aku mengerti maksudnya menitipkan jilbab itu. Aku masih dihantui rasa menyesal yang amat besar. Aku berjanji akan menjaga ibu. Aku harus kuat. Inilah jadinya. Akibat keegoisanku. Aku menyesal.
Seminggu setelah hari isak tangis itu, belum sempat aku menjalankan kemauannya untuk menyatakan perasaan pada Fathir, tapi kulihat Fathir bersama perempuan lain. Jauh lebih cantik dari aku. Ia terlihat sedang menyuapi Fathir dengan penuh perasaan. Aku lihat raut wajah Fathir yang sangat bahagia di samping perempuan berambut panjang itu. Kutelan habis rasa percaya diri sampai urung niat yang tadi menggebu, mewujudkan keinginan Sahara. Mungkin ini memang jalannya. Semuanya tak selembut merah jambu.

Tugas Akhir PembaTIK Level 4 TAHUN 2024 (VLOG BERBAGI DAN BERKOLABORASI)

 Assalamualaikum wrwb. 😇 Halo Sobat Bloggers. Pada postingan kali ini, Saya akan memuat beranda laman blog Saya dengan cerita tentang Tugas...