Yusrina Fitria

Yusrina Fitria

marquee Yusrina Fitria
Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 30 November 2014

RINA-I SENJA DI UJUNG MATA



RINA-I SENJA DI UJUNG MATA
Amrinaa Yusraa

Entah dari mana akan kumulai kisah romantika di ranah kehijau – hijauan yang dunia sebut dakwah ini. Diam sejenak. Izinkan ku urai untaian permata cerita yang sempat puluhan pekan kumaknai dengan tinta emas pengorbanan, kesetiaan, dan keikhlasan.
Ayah pernah berpesan, “Jika kau mencintainya, lillaah, Nak. Dekaplah ia dengan kehangatanmu. Jangan biarkan ia berpaling darimu. Kerana cinta yang haqiqi memang datang dari tangan Rabbi yang Maha Membolak – balikkan hati.”
Ini bukan cerita tentang bagaimana aku terhunus bilah cinta dari insan manusia. Bukan. Tapi, sungguh, kuharap kau tahu bahwa berdiri gagah di bawah payung yang kau pinjamkan untuk beberapa waktu ini berhasil menghipnotisku. Mulai dari taujih Rabbani yang membungkus pagi hingga taujih insani yang kadang menyindir diri. Mulai dari berseteru memutuskan sesuatu hingga gelak tawa ringan sebab sesuatu.
Jika kau tanya pantaskah aku diberi sepotong amanah yang membuat mereka iri, maka kan kujawab, “Tidak !” Kerana tak selamanya yang kuning itu emas, tak selamanya yang mengkilat itu berlian. Di mata mereka, aku kan mampu mengangkat nama anak dakwah ini ke permukaan. Walau kadang sempat mata tak mampu lagi terbuka, kaki mulai terseok melangkah ke muka, dan hati mulai tak sempat tuk peka.
Di awal cerita, aku sempat mengaduh pada zona yang perlahan menyiksa. Ada kala tanpa tegur sapa, bahkan segan untuk menampakkan muka. Na’uudzublilllaah tsumma na’uudzubillaah. Aku kira mereka salah memilih orang. Seharusnya bukan aku yang layak berdiri bersama mereka di bawah payung yang sama. Bukan aku yang layak menguatkan pundak bersama mereka melawan hebatnya angin yang lepas tertawa. Bukan aku yang layak berpangku tangan mengusir kilat yang tiba – tiba menyapa. Bukan. Bukan pula aku yang layak bersama mereka menanti tujuan ke dermaga perkasa menyambut pelangi indah yang kabarnya akan singgah mewarnai dunia.
Mungkin kali ini aku hanya bisa bernyanyi lewat sebait dua bait puisi yang penuh akan diksi. Sempat mencuri simpati bahkan melunglaikan tungkai hati. Bernyanyi tentang lagu yang kita cipta dan maknai sendiri. Menari dengan rinai yang bersahaja kala senja hari sembari menghantarkan voucher bingkisan nasi.
*****

“Bu, kami hanya ingin uluran hangatmu. Agar dakwah ini tak hanya sepanjang galah. Jangan buat kami merasa bersalah.”
“Pak, kami hanya ingin disambut senyum sumringahmu. Agar dakwah ini tak hanya tinggalkan nama, tapi berjejak selama - lamanya.”
Episode selanjutnya bercerita tentang perjuangan yang tak terlupakan bersama dinginnya bulir rinai dan asrinya kota tercinta, Padang. Masih setia terpatri memori yang kita lalui ketika proposal di kanan dan voucher di kiri. Aku kadang sibuk senyum – senyum sendiri. Ini bukan untuk kita, tapi untuk ummat. Niat karena Allaah walau sempat diteror lelah.
Kala itu kita sama – sama memaknai bahwa berbicara tidak hanya untuk menghibur diri. Tidak hanya menyampaikan keluh kesah di hati. Tapi, berbicara sejatinya mengajarkan kita untuk mendengar. Mendengar bahwa nyatanya dakwah tidak cukup dengan hanya niat di hati. Akhirnya kita sadar bahwa niat saja ternyata belum cukup. Semangat saja juga belum cukup. Tapi cinta membuat kita bekerja dengan hati, hingga lahirlah harmoni menapaki episode hari.
Cerita kita bersambung dari ahad ke ahad lagi, tanpa henti. Agenda kita juga bersambung dari ahad ketemu ahad lagi. Cukup membahagiakan. Cukup menyenangkan. Cukup menyibukkan. Cukup melelahkan. Namun tak cukup waktu untuk mengisahkan detail cerita yang meaningful dalam sejarah hidup.  Pada manisnya gelak tawa kita atau asin pahitnya air mata kecewa ingin kusampaikan bahwa aku bersyukur menjadi bahagian dari kalian semua.
*****
Sederhana. Ibarat sebuah kotak berukuran raksasa. Kira – kira ukurannya empat meter kali empat meter. Kurang lebih luasnya enam belas meter persegi. Mungkin. Aku awalnya bertanya – tanya. Bagaimana caranya petakan sederhana ini menjadi saksi akan sejuta kisah kita. Tiada yang mustahal dan mustahil di dunia. Nyatanya, hingga detik ini kita masih di bawah atap yang sama. Di atas permadani hijau yang sama. Di antara tirai – tirai hijau muda yang sama. Ah, kawan. Sulit bagiku mendeskripsikannya dengan barisan kata. Beri aku waktu untuk menceritakannya. Namun, jangan sekali – kali beri aku waktu tuk melupakannya.
Di sana, di petakan sederhana. Kan tetap mengalir peluh – peluh calon syuhada yang kuharap kan tetap membara pula semangatnya. Tetap istiqamah ikrarnya. Tetap kokoh pundak – pundaknya.
Di sana, di petakan sederhana. Bukan hanya tempat berteduh sementara. Bukan sebagai arena ‘penitipan’ adanya. Tapi, lihatlah pada rak – rak yang tersusun rapi atau pada papan – papan pengumuman yang tak pernah sepi.
Di sana, di petakan sederhana. Tak kenal musik ‘nakal’ atau lagu – lagu ‘sensasional’. Hanya ada murattal yang mampu mengubah raut bahagiamu yang semula kesal. InsyaaAllaah.
Di sana, di petakan sederhana. Aku pernah mendengar takbir yang menggema memecahkan kesunyian pagi, kala jangkrik, semut, cicak, atau bahkan  katak – katak ‘mungil’ masih belum menampakkan diri.
Di sana, di petakan sederhana. Sudah lahir ratusan bahkan ribuan nama calon penghuni surga. Berani menggadaikan waktunya tuk pertahankan tegaknya bendera kemenangan Islam lillaahi ta’ala. Berani mengukuhkan genggaman tangan bersama saudara demi perjuangkan ‘tiada illah kecuali Allah semata’.
*****
Ledakan Energi Peradaban
Empat syuhada berangkat pada suatu malam
Gerimis air mata tertahan di keesokan
Telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu – sedan
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri
Mengukir reformasi karena jemu deformasi
Dengarkan saban hari langkah sahabat – sahabatmu beribu menderu – deru
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri
Karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri
Merah putih yang setengah tiang ini merunduk di bawah garang matahari
Tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama
Dan kalian pahlawan bersih dari dendam
Karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan
(Taufik Ismail, 1998)
Puisi enam belas tahun ini berhasil ‘mengguna – gunai’ku. Hingga sampailah memoriku berlari pada satu kisah ketika Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Mana yang lebih hebat bagi seseorang, antara dikokohkan (dimenangkan) atau diberi ujian.” Lalu Imam Syafi’i menjawab, “Ia tidak dikokohkan sebelum diberi ujian” (Ibnu Al-Qayyim: 283).
Demikianlah sunnatullah terjadi pada orang-orang hebat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak diberikan kemenangan sebelum diuji hingga berdarah-darah. Karenanya Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’ kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran agamanya. Jika agamanya kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
*****

Ketika sejenak berpikir, sempat terlintas di benak, “Kenapa diri ini bisa dan ingin aktif di UKK ? Hingga akhirnya ditakdirkan menjadi ‘kepala Biro’ seperti saat sekarang ini ( akan lengser maksudnya, hehe ). Apa sebenarnya yang diri ini inginkan dan yang akan diri ini dapatkan dari UKK sehingga ‘mau – maunya’ memberikan sedemikian besarnya energi diri saat ini ( dan insyaaAllaah hingga kedepannya ) ?”.  Terkadang, jawaban muncul tanpa diundang, “Ilmu Islamkah yang diri ini cari di UKK ?”
Pernyataan yang sering diucapkan oleh calon pengurus UKK pada umumnya ketika diwawancarai pada awal kepengurusan dan ditanya, “Kenapa dinda pengen ikut UKK ? Di UKK gak di gaji, loh J ”. Ternyata tidak, sebab jika hanya ini tujuannya maka tentulah diri ini masih bisa dapatkan dengan mentoring mingguan yang setia dijalani dan juga lingkaran ta’lim dalam momen – momen berkesempatan.
Mencoba flashback, sampai ketika diri masih terkategori ‘maba’, awalnya diri mengggumam , “Ah, gak perlu lah ikut UKK, gak mau!”. Lantas apa yang membuat diri ini akhirnya bisa mengubah haluan hati ? Ternyata, sejatinya (dengan merefleksikan diri di masa nun lampau barang tentu ) dakwah lah yang menjadi motivasi besar tuk memautkan hati. Sedikit tertrigger dengan posisi yang tak kenal kata mainstream. Kita butuh akan hadirnya dakwah layaknya butuh bernafas setiap saat, makan setiap hari, istirahat dengan cukup durasi, bahkan mandi dua kali sehari.
*****

Allaahumma Raabithataha


Bismillaahi...
Auudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim...
"zuyyina linnaasi hubbusysyahawaat..."

Tinggal beberapa pekan lagi kesempatanku merasuki celah - celah cerita kita yang mulai tampak ujungnya...
Tinggal beberapa hari lagi waktuku untuk menggentayangi bayang - bayang yang mulai tampak kan menghilang...

Bukan masalah waktu yang belum bisa menjinakkan galau..
Hanya saja keurungan niat tuk menyapa senja yang belum kesampaian...
Jangan tanya mengapa...
Sebab dari ujung - ujung hidung mulai tampak kristal yang menggantung...

Katanya kita kan kehujanan bersama...
Ditusuk - tusuk sinar mentari pun bersama...
Katanya kapal kita ingin merayap hingga sampai ke dermaga perkasa...
Diombang - ambingkan ombak dan angin yang selalu datang tiba - tiba...

Coba nikmati sebentar kue kering pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya dimakan bersama...
Coba nikmati gelapnya pagi sebelum kokok ayam bersuara pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya udara yang kita hirup bersama...

Sudah...
Lupakan saja kecewa dan gundah gulana...
Seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan romantika di zona yang kita lingkari bersama...
Sudah...
Lupakan saja tangis dan haru yang pernah tercipta...
Seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan gelak tawa saudara seiman yang berjuang bersama...
Bersiaplah berdiri tegak menyambut pelangi yang kan lambaikan tangan ke kanan dan ke kiri...
Kerana indahnya ia menentukan indahnya romansa dakwah yang telah kita bina hingga kini...

Ini hanya problematika hati yang masih belum siap menampakkan diri di hadapan Illahi...
Tentang pertanggungjawaban diri terhadap dosa dan penyakit hati...

Hingga akhirnya diri hanya mampu menyendiri dan bermain dengan hari...
Semoga Allaah pertemukan kita di surga nanti...
Singkat kata, aku tak bisa melupakan kisah kita, dan kuharap kalian juga...


Padang, 19 November 2014  00:04 WIB
"menanti pelangi yang kan segera tiba"
---yusrinafitriaheriza.blogspot.com---
*****
Kubaca firman-Nya. Sungguh tiap mukmin bersaudara. Aku tahu ukhuwah tak perlu diperjuangkan kerana ia hadir hanya akibat dari iman. Aku jadi semakin yakin bahwa ukhuwah memang bukan hadir untuk diperjuangkan. Kerana ketika ikatan mulai tampak melemah, saat keakraban mulai tampak merapuh, saat salam perlahan mulai menyakitkan, saat kebersamaan serasa bak sebuah siksaan, saat pemberian serupa bara dalam genggaman tangan, dan saat kebaikan justru disulap melukai perasaan. Ingatlah, itu tersebab bukan ukhuwah kita yang cacat, hanya tersebab iman kita sedang tidak enak badan. I still remember your eyes found a way to melt my heart.
Teruntuk kakak KaMus dan kakak BendUm. Ingatkah pada pertemuan dan perkenalan kita pertama ? Ya, Musyawarah kerja UKK di lantai III FIK ( kalo gak salah ) yang beraula. Aku sendiri menyaksikan bagaimana indahnya campur tangan Tuhan yang menggerakkan kakiku berayun dan duduk di sebelah bangku kanda berdua. Mulai saling memautkan pandangan mata hingga ayunan tangan sembari menyapa. Aku sebelumnya tak kenal kanda berdua. Jujur, belum. Dan ingatkah ketika Allah memperjalankan langkah kita bertiga menuju az – Zahra dua tuk tunaikan Dhuha ? Allah memang romantis skenario-Nya. Hingga kita sama – sama hadir dalam petakan yang sama, menghimpun rasa dengan cinta. Terima kasih tuk sejuta episode yang telah kita lalui bersama. Bahkan nasihat – nasihat yang mampu menjatuhkan bulir di ujung mata.
Alhamdulillah, kini kita sudah mulai belajar banyak dari kisah. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Memilih untuk tetap tinggal di sini atau pergi. Pergi bukan sekadar retorika puisi, namun pergi yang bermakna kan datang lagi. Datang bukan sebagai sosok yang ingin dipuja bahkan dipuji. Melainkan datang sebagai mentari yang tetap setia menerangi atau ‘menyamar’ menjadi pelangi yang setia mewarnai.
Zinnirah, mungkin tak janggal singgah di daun telinga. Sebab kecintaannya bermuara pada kata setia. Setia yang dibarengi ikhlas lillaahi ta’ala, jangankan sepasang bola mata, nyawa pun kan jadi taruhannya. Bagaimana dengan kita ? Sanggupkah lima menit saja dikorbankan untuk dakwah ? Sanggupkah lima ribu rupiah saja dikorbankan untuk dakwah ? Silakan bercermin pada ikhlas dalam diri. Sebab ikhlas yang haqiqi adalah memberi arti bukan menanti bukti, memberi kebaikan bukan pujian, menebar cinta bukan kerana ingin dipuja.
Special thanks to Allaah subhaanahu wa ta’ala yang telah menitipkan amanah ini di tangan yang mungil lagi kerdil. Shalallaahu ‘ala Muhammad, teruntuk habiballaah yang telah mengajarkan kami arti cinta, kerja, setia, dan memaknai setiap ukiran yang tercipta dari kata saudara. Syukran jazaakumullaah khairan katsiiraa teruntuk ikhwan wa akhwat rahimakumullaah yang sempat meminjamkan senyumnya, menumpahkan peluhnya, menyodorkan waktunya, serta mengikhlaskan rupiahnya dalam agenda – agenda dakwah yang kita hadiahkan bersama. Kerana episode baru belum selesai, melainkan baru saja dimulai.
Tetaplah menjadi jundi yang taat. Sebab semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang datang menggoyahkannya. Pohon perjuangan yang telah kita tanam selama ini telah tumbuh menjulang. Wajar, terpaan angin pun serasa semakin kuat. Agar pohon ini tetap melekat, satu-satunya cara adalah dengan menyulap akar - akar taqwa menjadi kian kuat. Kalau pun satu pohon harus tumbang kerana uzur usia atau ketidakmampuan akar menahan dahsyatnya terpaan angin yang datang menyapa, kita tetap bisa tersenyum manis sebab pohon-pohon perjuangan kita telah bertumbuhan dimana-mana. Kini sehebat apapun angin ujian, badai ujian, selama kita selalu berakarkan keimanan dan ketaqwaan tak akan pernah mampu merusakkan jutaan pohon kebaikan yang telah kita tanam. Jangan biarkan dedaunnya lantas menguning, tetap jaga hijaunya yang menyejukkan mata. Mata yang rindu akan santun dan tegur sapa antar saudara.
-----Kutulis ini bersama ‘rinai senja di ujung mata’.
Berharap ada pertemuan selanjutnya dalam belaian indahnya surga-----
Shadaqallaah ‘aliyyul ‘adzhiim...
Solok, 29 November 2014, 22 : 14 WIB

Filantropi

Tuhan mengajarkan lewat ayat - ayat cinta-Nya nun suci. Jika memang cinta hadir melengkapi hayat manusia.Tak peduli, rajakah, ratukah, Presiden, Guru, Protokoler, Tukang ojeg, Tukang sayur, yang tua, muda, bayi, atau zigot sekali pun.
Mereka butuh CINTA. Hanya saja cara mereka mendapatkannya yang berbeda. Cara mengungkapkannya yang berbeda. Seperti Raja yang cinta pada mahkotanya. Tukang sayur yang cinta pada pelanggan atau pembelinya. Bayi cinta pada sentuhan lembut orang tuanya. Bahkan zigot yang cinta pada selubung tempat tinggalnya yang hangat lagi menghangatkan.
Tuhan menciptakan cinta kerana ia penting. Hanya saja kita belum tepat memaknainya. Bukan bahagia yang dicari, tapi bahagia yang dicipta. Yakinlah, muara cinta hanya bahgia, hanya ketenangan, kehangatan, kedamaian, dalam rangkulan Tuhan.
Hujan mengajarkan aku bagaimana filosofi langit. Pernahkah kita berpikir kenapa turun hujan ? Adanya penguapan ? Coba buka jendela imajinasi. Bebaskan diri. Aku mengira Tuhan sengaja membuka keran langit. Hinggaa air bebas berjatuhan. Ini wujud cinta Tuhan pada hamba-Nya yang minta perhatian. Mentari, mengapa ia tetap menyala ? Lihat kuasa Tuhan menggeser sedikit posisi kita. Ini wujud cinta Tuhan pada hamba-Nya yang minta keadilan. Pernahkah berpikir mengapa Tuhan ciptakan malam ? Kerana Ia inginkan hamba-Nya istirahat ? Ah, bukan. Ini wujud cinta Tuha pada hamba-Nya yang tengah dilanda kerontangnya kerinduang. Haus akan setitik embun pertemuan.
Tuhan hanya inginkan kita temui-Nya dan merayu. Kerana cinta mengajarkan kita rasa syukur. Rasa terima kasih. Gulita mengajarkan kita makna gemilang bersama bintang gemintang. Hanya saja hati kita belum mampu tuk peka.
Jangan pikir cinta mendidikmu berbuat dosa. Jangan. Hanya syaitan sedang mengatasnamakannya sebagai tanda perkenalan. Lewat mata, telinga, tangan, kaki, bahkan hati. Sedikit pita di ujungnya yang mampu mengubahnya lebih indah di pandang mata.
Syaitan mendidikmu untuk mati rasa. Membuat cinta dimaknai sebagai lumbung dosa. Dan tiba - tiba kita berteriak menyalahkan Tuhan. Na'uudzubillaah tsumma na'uudzubillaah. Kau bilang Tuhan pergi tanpa tinggalkan pesan. Padahal kau sendiri belum sempat temui-Nya. Beralasan sibuk dengan tuntutan. Hamba macam apa ?
Tapi Tuhan tetap cintaimu. Memelukmu dari kejauhan. Walau firman selalu kalau lupakan.
Ingatlah wahai diri. Tuhan punya kuasa atas napas yang tertinggal. Jangan salahkan cinta yang Tuhan hadirkan sebagai jalan menuju kemaksiatan. Hidup ini pilihan. Memilih untuk tetap dalam dekupan Tuhan atau malah kebalikan.
Fitri, fitrah, suci. Jangan nodai ia dengan noktah hitam kemaksiatan. Lewat pandang yang sekali - kali bisa meracunimu. Lewat pesan - pesan indah yang mengotori harapanmu. Atau yang lainnya. Ingatlah, janji Allaah itu pasti. Kau cukup sesali yang telah terjadi. Berlari sekencang - kencangnya mendekat dalam pelukan ILLAHI. Jangan hiraukan bisikan syaitan. Sebab yang kita inginkan hanya Tuhan. Sekali lagi, berlarilah mendekat pada Tuhan. Bawa cinta yang ingin kau buktikan.

Selasa, 18 November 2014

Allaahumma Raabithataha

bismillaahi...
a'uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim...
"zuyyina linnaasi hubbusysyahawaat..."

tinggal beberapa pekan lagi kesempatanku merasuki celah - celah cerita kita yang mulai tampak ujungnya...
tinggal beberapa hari lagi waktuku untuk menggentayangi bayang - bayang yang mulai tampak kan menghilang...

bukan masalah waktu yang belum bisa menjinakkan galau..
hanya saja keurungan niat tuk menyapa senja yang belum kesampaian...
jangan tanya mengapa...
sebab dari ujung - ujung hidung mulai tampak kristal yang menggantung...

katanya kita kan kehujanan bersama...
ditusuk - tusuk sinar mentari pun bersama...
katanya kapal kita ingin merayap hingga sampai ke dermaga perkasa...
diombang - ambingkan ombak dan angin yang selalu datang tiba - tiba...

coba nikmati sebentar kue kering pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya dimakan bersama...
coba nikmati gelapnya pagi sebelum kokok ayam bersuara pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya udara yang kita hirup bersama...

sudah...lupakan saja kecewa dan gundah gulana...
seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan romantika di zona yang kita lingkari bersama...
sudah...lupakan saja tangis dan haru yang pernah tercipta...
seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan gelak tawa saudara seiman yang berjuang bersama...

bersiaplah berdiri tegak menyambut pelangi yang kan lambaikan tangan ke kanan dan ke kiri...
kerana indahnya ia menentukan indahnya romansa dakwah yang telah kita bina hingga kini..

ini hanya problematika hati yang masih belum siap menampakkan diri di hadapan Illahi...
tentang pertanggungjawaban diri terhadap dosa dan penyakit hati...

hingga akhirnya diri hanya mampu menyendiri dan bermain dengan hari...
semoga Allaah pertemukan kita di surga nanti...
singkat kata, aku tak bisa melupakan kisah kita, dan kuharap kalian juga...


Padang, 19 November 2014  00:04 WIB
"menanti pelangi yang kan segera tiba"


Sabtu, 01 November 2014

Sepasang Bola Mata

Hari ini kulihat ada yang berbeda antara kita...
Dengan penuh tanda tanya kupaksakan berteriak pada dunia..

Sejauh itukah kita ?
Bagai dua lempeng yang terpisah oleh samudera...

Sudikah kau bangun jembatan gantung barang sekilan adanya ?
Agar jarak yang terhujam lama kan hilang walau sehela...

Sejauh itukah kita ?
Bagai dua planet yang terpisah oleh benda angkasa...

Sudikah kau bangun jembatan gantung barang sehasta adanya ?
Agar jarak yang mengakar lama kan lenyap walau sementara...

Sejauh itukah kita ?
Bagai dua nahkoda yang terpisah oleh dermaga raksasa...

Sudikah kau bangun jembatan gantung barang sekaki adanya ?
Agar jarak yang melekat lama kan lepas walau semasa...

Aku ingin kita bagai sepasang bola mata...
Terbuka bersama...
Terpejam bersama...
Berkedip bersama...

Padang, 1 November 2014 18:26
'ditengah dinginnya rinai di barat Sumatera'
 

Blogger news

Blogroll

About