Yusrina Fitria

Yusrina Fitria

marquee Yusrina Fitria
Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 21 Juni 2016

Aku Hanya Siang yang Meranggas

Aku Hanya Siang yang Meranggas  
Entah dari mana harus aku mulai. Yang terang, ia tiba-tiba saja hadir menyelinap ke dalam mimpi. Menikam perlahan, hingga tak tahu siapa yang lebih berhak untuk tetap bertahan. Bertahan hanya ada dalam kamus mereka yang percaya. Percaya jika memang semua akan baik-baik saja, walau harus sedikit terluka. Percaya jika memang ia akan temui muara. Pasti, tapi entah kapan kan terjadi. Walhasil, kita harus tega untuk hanya menyebutnya ‘mungkin’. Sayang, bukan perihal sabar atau kepastian. Karena kita terlalu angkuh untuk memutuskan semua akan mejadi pasti seperti yang telah kita ingini. Bukan, sekali lagi bukan. Tapi, tidak ada yang salah dengan perasaan. Jika ia bisa saja hadir tiba-tiba, lantas salahkah jika ia bisa lenyap tiba-tiba? Memang, tidak ada yang salah dengan perasaan. Tidak ada yang salah dengan suratan. Yang salah adalah ketika kita masih berdebat tentang pertanyaan. Bukan mencari alasan untuk bertahan. Pada yang salah, kita hanya perlu memperbaikinya agar tak kembali salah. Pada yang benar, tidakkah kita ingin semuanya sama? Sama-sama memiliki alasan untuk bertahan. Bertahan dengan sisa-sisa yang belum sempat diungkapkan. Walaupun ia hanya bisa membunuhmu secara perlahan. Aku pun demikian. Aku hanya kuntum yang tak sempat mekar. Yang lelah harus mengubur dalam-dalam setiap keakuan hanya demi bertahan. Keyakinan yang memaksa aku begini. Yakin jika memang semua akan tetap baik-baik saja setelah begini. Setelah kita, bukan kita yang dulu. Tapi, yang seperti ini. Aku hanya matahari yang terburu-buru terbit di beranda hati. Berniat menerangi, namun harus rela terbakar api sendiri. Aku hanya siang yang meranggas sebab terlalu lama terbakar. Benar-benar terbakar. Sementara kamu. Kamu hanya sekam yang mulai memanas terbakar oleh aku. Kamu yang belum sempat menatapku lebih nanar. Dan akhirnya, kita sama-sama terbakar.  Sedang kamu hilang ingin menjadi abu dan aku tetap bertahan membakarmu. Membiarkan nyala kita akan tetap ada hingga aku benar-benar merasa kita ada untuk kita. Aku mengutuk diriku atas apa yang terjadi. Karena malam menyangsikan kehadiran akan aku yang sedang meranggas tanpa batas. Pasrah, tak pernah memuntut balas. Kita tidak perlu menarik masuk daun pintu yang sempat terbuka lebar. Jika hanya untuk bertamu, bukankah memang harus bertemu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About