Yusrina Fitria

Yusrina Fitria

marquee Yusrina Fitria
Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 03 Februari 2017

Komentar Sang Bisu

Malam punya caranya sendiri menyulap seseorang yang tadinya baik-baik saja sekarang menjadi pura-pura baik tanpa disengaja.
Mungkin karena ia menghadirkan gelap yang menonaktifkan pikiran rasional alias melahirkan kepekaan perasaan yang lebih dominan.
Kali ini bukan mungkin, malam memberikan semuanya ketika siang sudah menyiksamu dengan semua pemikiran rasional dan tak jarang berseberangan dengan kata hati.
Itu mengapa aku menyebut malam sebagai waktu paling jujur.
Sampai-sampai kita tidak mampu menipu diri kita sendiri terhadap apa yang sedang terjadi.


Bukan berarti aku sedang menyalahkan malam karena sudah membuatku hilang kendali begini. Memang waktunya dan memang harus begini adanya.
Karena senyum yang terlukis indah di muka juga butuh istirahat. Istirahat dari kepura-puraannya menghadapi semua yang di luar kendali manusia.


Menarik memang jika kali ini aku berusaha mengikuti akal pikiran yang mengaku rasional untuk menyerah bertahan. Semua orang bilang, "ayo move on!". Menurutku sendiri, move on berarti aku berhenti untuk holding on, ya, berhenti bertahan. Bertahan sampai Allaah memang benar-benar bilang, "wahai hambaKu, ini lah jawaban."

Aku tidak pernah menafikkan kalau memang aku punya caraku sendiri memaknai -move on-. Dan tidak masalah jika mereka menganggapku lemah hanya karena aku tampak kalah dengan keadaan. Bahkan sekarang belum ada keputusan siapa yang lebih berhak Allaah menangkan. Dia yang yakin dengan takdir atau malah mungkir? Intinya, beri saja kesempatanku menikmati waktuku untuk bertahan. Meski sedari awal sudah kuputuskan untuk menyiapkan dua mental sabar. Sabar menerima takdir yang sesuai harapan dan sabar menerima takdir yang sesuai kebutuhan.


-Bagaimana caranya memilih di antara beberapa pilihan sedang pilihan kita tidak ada di antaranya?-


Setiap orang punya caranya sendiri memutuskan apa yang terbaik untuknya. Karena mereka tahu bahwa Allaah tidak akan mengubah nasibnya jika mengandalkan kepasrahan.
Menolak tidak selalu bermakna tidak menerima. Bisa saja belum menerima.


Adakah yang lebih rela melepaskan atau bahkan merelakan jatuh bangunnya bertahan hingga hampir tiga tahunan? Sampai saat ini jawabannya masih -tidak-.


Bagi mereka yang menyebutku -gila-, aku sangat berterima kasih. Karena dari mereka aku belajar bagaimana harus bersikap dan mempertahankan pilihan.


Memang begini cara -gila-ku untuk mencegah perpanjangan sebuah harapan. Karena kamu tahu sendiri betapa nelangsanya dikhianati harapan, bukan? Mulai dari harus menutup semua peluang harapan itu akan muncul. Bahkan harus rela untuk memutuskan semua jalan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang menjadi jalur kedatangannya yang kadang tiba-tiba saja ada, tiba-tiba saja datang. Atau malah menghapus semua kesempatan dari kehadiran semua harapan yang belum sempat lahir. Bukannya sejak awal sudah ku katakan bahwa sesuatu yang sederhana bahkan tak berarti apa-apa bisa menjadi sesuatu yang luar biasa bagi mereka yang terang-terangan menyimpan harapan? Karenanya, aku harus beberapa kali kalah dengan kejujuran. Harus membuat dinding yang besar lagi tinggi agar tak ada yang bisa menembusnya, menghancurkannya. Dari dua alasan mengapa seseorang harus menjauh sejauhnya-jauhnya, antara menyimpan rasa cinta yang teramat dalam ataukah rasa benci yang termat dalam, kamu tahun sendiri jawaban -orang gila- ini yang mana.

Bukan masalah sepele bagi pribadi yang beberapa bulan lagi akan menginjak usia 23 tahun. Mestinya sudah bisa mngambil sikap atas setiap peluang yang akan muncul dengan adanya pilihan. Peluang akan dipatahkan setelah sekian lama menahan kesakitan atau bahkan peluang dimerdekakan dari penjajahan bertahan. Tentang jatuh bangun pengorbanan yang masih samar-samar, itu hanya pola dan ritme kehidupan. Bukan malah menjadi soalan.


Ada yang berniat baik, belum tentu Allaah mudahkan. Ada yang berniat buruk, tahu-tahunya kesampaian. Tapi, masihkah kita yakin bahwa kita akan mendapatkan apa yang telah kita niatkan?


Aku bukan anak umur belasan tahun yang masih menjadikan kelabilan sebagai tumbal dan alasan. Sebab berhati-hati dengan pilihan adalah salah satu cara untuk menentukan di mana tempat berlabuhnya kehidupan.


Bertahan tidak begitu mengasikkan. Harus kalah dengan keadaan saat sendirinya butuh arahan. Harus kalah dengan perasaan yang terus memaksa minta dibalaskan. Tidak terlihat menyenangkan, bukan?


Bertahan tidak sebercanda itu, katanya. Saat semua kata sudah berkumpul di atas lidah dan siap dilontarkan, tapi kamu memaksa menelannya kembali karena takut dengan perasaan. Takut jika akhirnya kamu harus berhenti bertahan karena nyatanya semua tak sesuai harapan.


Bertahan memang gila. Kamu rela membunuh setiap rindu yang muncul, merapikan kembali memori yang tiba-tiba hadir, dan menyita waktu untuk berpikir tentang kapan semua ini akan berakhir.


Bisa jadi ada masanya nanti aku akan berhenti bertahan. Berjalan mundur, bukan berarti aku berputus asa. Akan tetapi, sudah tak mampu lagi membendung luka.


Bisa jadi ada masanya aku berhenti bertahan. Berjalan mundur, bukan berarti aku menyerah pada keadaan. Akan tetapi, sudah tak mampu lagi mengalah kepada keberpura-puraan. Sebab aku bukan Tuhan.



---Tahun keempat dan hari ke seribu sekian, masih ada namamu yang aku selipkan.





Solok,Hari ke-34 di tahun 2017.


---entah pelangi mana yang kau sebut akan hadir setelah hujan reda.
 

Blogger news

Blogroll

About