Yusrina Fitria

Yusrina Fitria

marquee Yusrina Fitria
Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 16 Januari 2015

-Cintaku Tak Selembut Merah Jambu-

 Taraaaaa.......!!! Ini cerpen pertama waktu SMA sekaligus cerpen pertama yang dapat 'juara' pas Pekan Lomba Bahasa dan Sastra tingkat Provinsi Bengkulu :') bangganya sedikit, walaupun tulisannya gak bagus - bagus amat, sing penting NULIS ! :) :D



CINTAKU TAK SELEMBUT MERAH JAMBU
Yusrina Fitria


“Kak, bantu aku menyelesaikan tugas lukisku ini ya, aku capek.” Dia mengejutkan aku dari belakang sambil menyodorkan lukisan setengah jadi itu ke wajahku.
“Kau tak lihat aku sedang apa ?“ Suaraku memecahkan keheningan malam itu. Dia sontak terdiam.
 “Lebih baik aku menyelesaikan tugasku daripada melanjutkan lukisanmu yang abstrak ini ,” sambungku lagi.
Ku arahkan pensil 2B ku yang sudah tinggal setengah batang lagi sambil menusuk – nusukkan jariku ke lukisan yang tak mau ku teruskan itu.
“Kalau aku tak pusing berat seperti ini pasti aku akan lanjutkan lukisan jelek ini, Kak. Aku hanya ingin mengistirahatkan kepalaku yang rasanya mau pecah ini !” Tangga nada suaranya sontak meninggi. Menggema di kamarku yang hanya ada kami berdua.
Detik itu juga embun dari matanya berubah menjadi titik – titik hujan yang membanjiri ruangan sempit itu.
“Apa aku salah ngomong ? Gak kan ?”
Aku tak pernah lupa kejadian 6 tahun lalu yang menghapus gores demi gores kata sayangku untuknya.  Saat dia menumpahkan kehangatan teh cap Bendera yang sengaja dibuatnya untukku malam itu ke buku yang setengah mati ku isi dengan jutaan angka. Buku tugas bersampul kacang yang sudah habis usia akibat tangan adikku sendiri. Semenjak saat itu aku sembunyikan dendam yang bukan main parah. Sakit hatiku menggunung. Menangisi lembar demi lembar soal matematika yang ukirannya tak bisa lagi dibaca. Rasakan olehnya bila tugasnya tak selesai. Dulu, dia hanya beri aku sepotong kata maaf dan segelintir permohonan yang sampai saat ini belum bisa menyurutkan gelombang amarahku.
“Zahra ! Kenapa kau tak mau bantu adikmu ?” Aku kenal suara itu. Itu suara ibu.
“Ya, Bu ? Kenapa ?” Aku melangkah kecil ke pintu kayu kamarku untuk menjawab sahut pertanyaan yang sebenarnya malas aku jawab.
“Kau tidak lihat ? Adikmu ini sakit.” Lagi – lagi ibu membelanya.
“Tutup buku tugasmu ! Lanjutkan lukisan adikmu ini ! Tidak ada kata tidak mau. Untuk apa dia punya kakak, kalau masih aku juga yang membuatkan tugasnya ?” Ibu kelihatan amat marah melihat Sahara yang tak bisa menahan  tangis karena egoku.
Terlahir dengan nama Zahra Yahya membuat aku tidak pernah merasa bahagia. Predikat ‘Yahya’ yang aku pakai hingga alam kuburku nanti tidak pernah menjamin hidupku akan menggoreskan tawa. Jangankan tawa, senyumpun aku tak pernah. Selama 17 tahun bernafas aku masih merasa namaku hanya Zahra saja. Tak perlu gelar Yahya. Bagaimana tidak, aku disebut anak kandung seperti yang tertera di surat tak berguna yang orang sebut itu akta kelahiran. Akan tetapi, aku tetap merasa seperti bayi yang lahir tanpa orang tua. Dibungkus daun pisang dan ditelantarkan di ujung jalan. Menunggu belas kasihan orang yang akan memungutku. Sampai akhirnya aku bisa disuapkan makan dan diberi sepotong baju dari keluarga Yahya ini. Itu hanya rasa – rasaku saja yang terus meratapi betapa besar pohon diskriminasi itu tumbuh dan tak akan pernah mati dalam keluarga yang dipimpin oleh Ummar Yahya ini.
Sebagai anak sulung, aku harus tunduk tiap detiknya kepada adik perempuan semata wayangku, Sahara Yahya. Umur kami hanya terpaut satu tahun saja. Ini adalah keterbalikan fakta yang orang jumpai di keluarga janggalku.
“Sebesar apapun kesalahan Sahara, apapun yang dilakukan Sahara, tetap Zahra yang harus mengalah !” Kalimat ini membuatku tak berkutik. Menundukkan kepalaku dengan segala ketidakberdayaanku. Bila aku sudah menamatkan impianku menjadi pemilik gelar SH nanti, aku akan duduk di bangku dewan yang orang sebut si pembuat peraturan. Aku akan ubah kalimat – kalimat ibu yang mengiris – iris hatiku ini.
Aku sadar bahwa rasa cinta dan kasih sayangku yang tulus yang kupikul demi keluarga Yahya ini hanya sekadar penyedap rasa. Haruskah aku bergelut dengan ketidakadilan yang membinasakan tiap lontaran kata – kataku ? Pantaskah predikat Yahya itu bersanding dengan sebuah kata Zahra ? Ini bukan cinta merah jambu. Ini cinta yang berakhir cemburu. Aku cemburu melihat ibu yang menyuapi makanan ke mulut Sahara. Aku cemburu melihat hukum diskriminasi dalam keluarga ini seperti menggerogoti urat – urat sarafku, dan itu hanya berlaku untuk aku. Aku cemburu melihat adik yang bermain dan bersenda gurau dengan kakaknya di luar sana. Aku cemburu melihat ayah yang membawakan tas untuk  Sahara. Aku cemburu saat melihat ibu memakaikan kerudung ke kepala Sahara. Tuhaaaan.... Kapan aku diperlakukan seperti itu ?
“Bu, Zahra berangkat sekolah dulu, assalamualaikum...”
Aku langsung keluar rumah dengan mengarahkan bola mata ke arah pintu. Pagi itu tak tampak reaksi ibu yang akan memberi kecupan untukku. Inilah yang biasa kusebut ironi merah jambu.
Sampai di sekolahpun aku masih bertanya – tanya dalam hati. Apa memang ibu sudah tak menyayangiku lagi ? Kuhapus perlahan embun – embun di ujung mataku yang terasa dingin tak sedingin kasih ibu padaku.
“Kenapa mukamu Zahra ? Aku timpuk pake buku ya biar gak melamun lagi. Pluuuk ! ”
“Auww... Sakit Fathir ! Kamu gak ada kerjaan ya ? Lebih baik kerjakan tugas matematikaku ini. Aku gak sempat lagi membuatnya karena sibuk menyelesaikan lukisan adikku. Tolong ya.” Ku keluarkan buku kotak – kotak warna kuning itu dan langsung ku letakkan di atas meja Fathir sambil memberi satu senyum gratis untuknya.
“Kamu baik sekali sama Sahara, biasanya berantem terus. Kamu gila ? Tugas matematika itukan banyak ?”
Ku bungkam mulut Fathir yang terus mengeluarkan komentar – komentar tak bermutu itu dengan 3 potong pergedel jagung yang sengaja ku buat pagi tadi. Aku tahu, kalau sudah bicara pergedel, Fathir pasti bungkam sejuta kata dan langsung mau membantuku.
Fathir Hasbi, bintang kelas, teman sebangku, sahabat karib, dan cinta pertamaku.
Bercerita tentang Fathir berarti sama saja membongkar habis aib kisah cinta seorang Zahra Yahya. Bayangkan saja, aku sudah mengenal Fathir sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas satu dan aku adalah satu – satunya orang yang selama enam tahun setia duduk di sebelahnya. Selama itu aku tak pernah mengenal yang namanya cinta. Walau sebenarnya aku haus akan cinta.
Semenjak ditakdirkan sebangku lagi di sekolah menengah pertama yang sama dengan Fathir, tepatnya waktu itu kami baru memulai tahun ajaran baru kelas IX. Awal kelas IX itu menggugah keremajaanku yang selama ini beku. Momentum merah jambu ? Siapa yang lupa akan tanggal 14 Februari ? Dihari serba merah jambu aku selalu menunggu laki – laki berhidung mancung itu memberiku sebatang coklat. Tapi, itu adalah mimpi yang tak kunjung jadi nyata. Sampai hari dimana seluruh dunia tersenyum menghiasi liku – liku cinta mereka dengan mawar merah dan sebentuk hati untuk pujaan hati mereka tahun itu, ku lihat Fathir membawa sebungkus permen coklat minimalis. Dengan tulisan yang tak bisa ku baca lagi karena tintanya sudah memudar.
“Ra, lihat ini. Kau tahu ini apa ?” Dengan suara seperti orang sudah menangis dia menyapaku perlahan.
“Ini adalah pemberian terindah dari wanita yang paling kucintai dan kusayangi di dunia ini. Aku tak akan pernah menggantikan kedudukannya di dalam hatiku yang kecil ini.” Wajah Fathir nampak mendung sambil mengarahkan bungkusan permen coklat warna merah itu tepat di hadapanku. Diambilnya tanganku dan diletakkannya di dadanya yang bidang. Mungkin dia hanya meyakinkan aku, inilah hatinya, hati Fathir.
Aku mulai tak tentu berpikir. Darahku seperti berhenti mengalir. Otakku terus berotasi, siapa wanita yang beruntung itu ? Apa itu aku ? Sepertinya aku bermimpi lagi. Jelas saja wanita itu bukan aku. Kutundukkan kepala sebagai bentuk aku turut merasakan kesedihannya, walaupun kenyataannya arti tundukanku itu adalah sebuah keputusasaan. Detik itu kumerasa harus melupakan Fathir. Fathir menyukai orang lain.
“Kau ingat ibuku, Ra ?”
“Ya, kenapa dengan ibumu?”
Aku angkat pelan – pelan daguku. Aku bingung. Apa hubungan antara wanita itu dengan ibu Fathir ? Apa mereka berdua sudah dijodohkan ? Hatiku hancur dalam hitungan detik. Ibarat gedung tua yang runtuh seketika.
“Coklat ini. Coklat ini pemberian ibuku. Wanita yang paling aku cintai di dunia. Sekarang wanita yang ku puja itu ada di rumah sakit. Kau bisa bayangkan jadi aku kan Ra ? Aku tak mau kehilangan ibuku. Dia adalah hidupku.”
Dua bulir embun itu jatuh dari ujung mata Fathir yang telah mengalihkan duniaku. Bulir yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Kali ini aku seperti melayang di surga. Ternyata wanita yang kucurigai itu adalah ibunya sendiri. Keputusasaan yang aku terbangkan tadi langsung ku tangkap, ku ikat kuat – kuat, dan tak akan pernah ku terbangkan lagi. Aku bingung. Aku harus senyum atau ikut tenggelam dalam lautan bulir itu ? Rasanya ingin sekali aku jatuhkan tanganku ke pundaknya. Rasanya aku ingin hapus bulir yang membasahi relief pipinya.
Ibu ? Pikiranku berlari ke arah pohon diskriminasi itu. Fathir menjatuhkan bulir mutiaranya demi ibu ? Sedangkan aku ? Aku menangisi ibu karena ibu tak pernah mengerti aku. Aku coba menyatu dalam detak jantung Fathir. Kuhentikan aliran bulir itu sejenak.
“Sudahlah,” kataku lemah. “Aku mengerti tentang perasaanmu. Kita sebagai anak hanya bisa bersabar dan berdoa kepada Tuhan agar Ia memberi yang terbaik untuk ibu yang kita sayang.” Aku tak tahu bagaimana menghiburnya, sedangkan menghibur diriku sendiri saja aku sudah tak mampu.
“Aku takut kehilangannya, Ra.”
Aku tak tahan melihatnya menangis. Baru kali ini aku melihat laki – laki menangis walau hanya tangisan ringan. Tapi ini beda. Berhasil menyentuh lapisan terdalam hatiku, menembus hati yang berlapis – lapis.
“Hapuslah air matamu itu. Kau sudah besar, Thir.” Kalimat yang ku gunakan untuk menghibur hatiku dan Fathir yang kurasa sulit untuk direalisasikan.
Ibu. Sewajarnya Fathir takut kehilangan ibu yang selalu memahami perasaannya. Tapi ibuku, wajarkah aku takut kehilangannya ? Jangankan memahami, memberi segaris senyum saja rasanya amat sulit. Kubawa ingatanku ke tujuh belas tahun yang lalu. Jika ibu yang melahirkan aku, apa aku pantas disebut anak yang baik di mata Tuhan bila aku sendiri tak pernah meneteskan darah dari mataku karena takut kehilangan ibu ? Sejujurnya, hidupku ini hanya karena ibu. Dari pesan Tuhan aku dilahirkan lewat rahim pertamanya. Melewati masa kritis antara hidup atau mati. Seharusnya jangankan untuk kehilangan, tak melihat sebentar saja aku rasanya rindu akan nyanyian masa kecilku yang dihadiahkan ibu. Walaupun mungkin kasih ibu hanya untuk Sahara. Tapi, apa aku tidak pantas mendapatkan satu pelukan saja ? Sudahlah, lupakan.
Bel pulang adalah satu – satunya bunyi yang paling kubenci. Itu tandanya aku harus berpisah dengan Fathir. Hal yang paling membuatku malas beranjak dari tempat duduk adalah suasana gua dan pohon diskriminan keluarga Yahya itu.
Di perjalanan pulang kutemui ibu tua yang sedang menggendong seorang anak kecil dengan pakaian yang tak layak digunakan sambil menjulurkan tangan kanannya meminta belas kasihanku. Aku langsung teringat ibu.
“Nak, kasihani anak ibu. Dia sakit, belum makan dua hari.” Ibu tua itu mengerutkan dahinya yang sebenarnya sudah kerut.
Aku diam sejenak. Ibu ini meminta kepadaku bukan untuk makannya, tapi untuk makan anaknya. Pikiranku langsung sampai ke rumah. Membayangkan bagaimana kalau ibuku di posisi ibu tua itu. Dengan mengusap air mata yang turun tiba – tiba kugali kantung bajuku dalam – dalam. Syukurlah masih ada uang pecahan dua puluh ribu. Mungkin ini tidak cukup, tapi semoga saja ibu tua itu tak marah karena aku hanya beri dia satu lembar uang saja.
Kutatap mata yang sudah berumur itu dalam – dalam. Dia tak mengatakan apa – apa selain terima kasih. Tapi aku bisa lihat, sambil dia berjalan meninggalkanku dia mengangkat tangan selayaknya orang sedang berdoa. Aku terharu. Hari itu seperti hari titipan dari Tuhan yang mungkin sengaja diberikan untuk menyirami keberapian cemburuku akan mereka.
“Hari ini aku harus berubah. Tuhan, aku sadar ini adalah teguran. Aku harus minta maaf kepada mereka. Aku yakin, siapapun aku, anak kandung atau anak angkat, pasti orang tuaku sayang kepadaku. Terutama ibu. Mana mungkin aku disekolahkan sampai setinggi ini, dibesarkan seperti ini kalau mereka tak sayang padaku.” Aku berbisik sendiri mengusir jauh – jauh energi negatif yang selama ini tertidur lelap dalam rasa cemburuku.
Ku ayunkan kaki pelan – pelan hingga akhirnya sampai di depan rumah. Senyum Sahara sudah sampai lebih dulu.
“Sudah pulang kamu, Kak ?” Sahara menyambutku di depan pintu rumah seraya mengenakan jilbab merah jambu.
“Iya. Kau suka sekali memakai warna itu. Apa tak ada warna lain yang lebih enak dipandang ?” Jawabku sambil duduk di teras dan membuka sepatu kulit ukuran 40.
“Terserahlah, Kak. Kakak tak pernah bosan menanyaiku tentang itu,” jawabnya.
“Pasti Kakak tahu aku akan jawab apa. Ini warna kesukaanku. Apa yang salah dengan warna ini ? Ah, sudahlah !”
Sahara sepertinya marah padaku. Berpaling membelakangiku dan bergegas lari ke dalam rumah. Mungkin dia bosan mendengarkanku bersenandung ria dengan muka kesal sampai membuat amarahnya memuncak karena aku tak pernah suka melihatnya memakai warna terkutuk itu. Banyak hal yang membuatku benci warna itu. Tapi sulit untukku mengurai alasan yang mungkin orang anggap tidak rasional.
Belum sempat aku duduk menghela napas dari perjalan menuntut ilmu tiba – tiba ibu sudah tiba datang dengan amarah, menyuruhku membereskan rumah. Sekali lagi, alasannya adalah Sahara sedang sakit.
Ku ambil sapu dari ijuk dengan tangkai biru sambil mengelap mukaku yang bergelimangan keringat dan sedikit asin. Kumulai langkah pertama menyapu ke kamar ibu. Baru saja aku hendak mengayunkan sapu tidak sengaja kulihat selembar kertas berkop surat dari sebuah rumah sakit. Kugerakkan telunjuk ke arah bawah kertas yang bertulisan hitam tebal.
Sahara Yahya, positif kanker otak stadium 3.”
Apa ? Hujan lebat itu datang seperti dimohon jangan surut membasahi kertas yang memberhentikan detak jantungku. Gemuruh petir bersahut – sahutan dalam area jantungku. Kudengar langkah ibu yang sepertinya ingin masuk ke kamar. Langsung kuhapus bulir demi bulir air mataku, kulipat cepat kertas itu dan ku buat suasana seperti tak terjadi apa – apa. Ibu masuk ke kamar dengan sepiring besar ayam bakar manis kesukaanku. Dia tersenyum. Tak biasanya dia memberi selengkung senyum.
“Ini untuk siapa, Bu ? Pasti untuk Sahara.” Aku seperti diundang bicara kepadanya.
“Bukan, ini untuk kamu. Apa kamu lupa ini hari ulang tahunmu ? Selamat ulang tahun yang kedelapan belas ya anakku sayang.” Ibu meneteskan air matanya. Didaratkannya sebuah ciuman yang baru pertama kali kurasakan hangatnya. Inilah mimpi itu. Mimpi itu jadi kenyataan. Aku saja lupa dengan ulang tahunku. Aku teringat lagi dengan kertas yang menyayat – nyayat hatiku tadi. Sahara. Mungkin dia sengaja menungguku di depan pintu tadi. Pasti dia ingin mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Tapi, karena aku memarahinya... Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan ?
Hari ini benar – benar adalah surga dunia pertamaku. Aku benar, ibu ternyata sayang padaku. Kado ulang tahun terindah seumur hidupku.
Pagi itu Sahara tanpa permisi masuk ke kamarku sambil berlari.
“Kak, ini. Baca di sekolah ya. Salam sama Kak Fathir. Bilang sama dia kalau kau menyukainya. Janji ya !”
“Hah ? Surat ? Suka dengan Fathir ? Gila !” Belum sempat aku menjawab perkataannya langsung saja dia lenyap seketika dari belakangku. Aku bergegas pergi ke depan jalan untuk menunggu angkutan umum. Pagi ini aku sengaja tidak jalan kaki karena ingin segera membaca surat dengan amplop warna terkutuk itu.
Ku buka surat itu hati – hati.
Hatiku, 18 Mei 2007
Untuk Kak Zahra tercinta,
Selamat ulang tahun Kak. Hari ini aku tahu adalah hari terindah dalam hidupmu. Kau tahu, aku sangat menyayangimu, aku sangat mencintaimu. Jika kau tahu bahwa aku tak henti – hentinya meneteskan air mata saat menulis surat pertama untuk orang terbaik sepertimu. Di manapun aku, sedang apapun aku, aku selalu berdoa kepada Tuhan agar kau diberi kepanjangan umur. Maaf Kak. Bila selama ini aku selalu menyusahkanmu. Mungkin Kakak tak tahu, ditiap gelap malamku aku selalu bersujud dalam Tahajjud berdoa untuk Kakak dan ibu. Aku terus berusaha menjadi adik yang terbaik untukmu dan menjadi anak yang tidak bermanja ria kepada ibu. Sampai akhirnya aku memberanikan menulis surat ini sebagai bukti aku sangat menyayangi kalian. Ingat Kak, cinta itu tak kuning seperti yang kau bayangkan. Cinta itu tak bisa dilukiskan dengan warna. Kau bilang cinta itu akan mati seketika orang yang mencintainya mati ? Tidak. Cinta aku dan ibu kepadamu tak akan pernah mati. Bila suatu saat nanti aku tidak ada, mungkin kau tak akan punya teman untuk bertengkar lagi. Mungkin kau akan diam membisu karena tak punya orang yang harus dimarahi gara – gara si merah jambu lagi. Aku juga akan menyesal karena belum sempat memeluk dan mencium orang yang kusayang, dan itu adalah Kakak. Aku ingin sekali Kakak memakaikan kerudung merah jambu ke kepalaku. Andai saja....
Oh ya Kak. Maaf aku sudah lancang membaca diarimu. Aku tahu kau menyukai Fathir. Bilanglah padanya kalau kau menyukainya. Sebelum dia akan pergi meninggalkanmu. Jangan sia – siakan orang yang ada di sampingmu, Kak. Jaga ibu baik – baik. J J J J J
AKU MENCINTAIMU...
Peluk ciumku

Sahara Yahya

Tetes demi tetes kujatuhkan embun mataku saat membaca tulisan indah itu. 18 Mei ? Berarti benar dugaanku. Hari itu dia ingin mengucapkan sesuatu. Menyesalnya aku memarahinya tiga hari yang lalu. Bayanganku kembali mengarah ke surat yang menyatakan bahwa Sahara positif kanker otak stadium 3. Apa ini sebuah pertanda ? Ya Tuhan, kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Surat itu kututup dan kucium dengan penuh perasaan membayangkan bahwa aku sedang mencium dahi sang penulis surat.
Bel pulang berbunyi. Kugerakkan dengan cepat kakiku, tak sabar ingin bertemu Sahra dan ibu. Dari jarak jauh kulihat bendera kuning berkibar. Aku menyangka ada orang sedang membuat pesta pernikahan. Tapi aku rasanya terjatuh dalam curamnya jurang yang melenyapkan senyum kebahagiaan tiga hari yang lalu. “Bendera kuning itu tanda kematian !” Seketika kuteringat Sahara. Semakin mendekat. Bendera itu tepat dipasang di depan rumahku. Kulihat kerumunan orang berusaha mengelus punggungku. Rasa bersalahku semakin menguap. Apa yang terjadi ? Ibu berlari dari dalam rumah menghampiri dan memelukku dengan mata merah yang bergelimangan mutiara amat pilu.
Apa yang sebenarnya terjadi ? Di mana merah jambuku ? Di mana dia ? Dia tak tampak dari tadi. Aku tak bisa menahan lagi rasa bersalah ini. Sahara telah pergi. Sahara adikku. Si merah jambuku.
Ku lepaskan pelukan ibu dan berlari ke dalam mencium seluruh wajah pucat adikku yang hanya tinggal jasad.
“Sahara, jangan tinggalkan kakak!” Penyesalanku tak terbendung lagi. “Kakak janji tak akan marah kepadamu lagi. Kakak mencintaimu Sahara. Kakak akan memelukmu, menciummu, dan memakaikan jilbab merah jambu ke kepalamu. Bangunlah. Temani kakak. Kakak hanya sendiri di sini. Jangan pergi !!!”
Aku berteriak histeris sambil memeluk tubuh manusia yang dari tadi tak menjawab teriakanku. Ibu berusaha menarikku. Memelukku erat sambil memberikan sehelai  jilbab warna kesukaan Sahara.
“Sebelum dia pergi, dia titip ini untukmu. Ibu tak tahu apa maksudnya.”
Suara ibu masih tak jelas terdengar karena bercampur tangis yang menusuk – nusuk hati. Aku tak tega melihat ibu menangis. Langsung kugapai jilbab itu dan aku pakaikan ke kepala Sahara. Aku mengerti maksudnya menitipkan jilbab itu. Aku masih dihantui rasa menyesal yang amat besar. Aku berjanji akan menjaga ibu. Aku harus kuat. Inilah jadinya. Akibat keegoisanku. Aku menyesal.
Seminggu setelah hari isak tangis itu, belum sempat aku menjalankan kemauannya untuk menyatakan perasaan pada Fathir, tapi kulihat Fathir bersama perempuan lain. Jauh lebih cantik dari aku. Ia terlihat sedang menyuapi Fathir dengan penuh perasaan. Aku lihat raut wajah Fathir yang sangat bahagia di samping perempuan berambut panjang itu. Kutelan habis rasa percaya diri sampai urung niat yang tadi menggebu, mewujudkan keinginan Sahara. Mungkin ini memang jalannya. Semuanya tak selembut merah jambu.
 

Blogger news

Blogroll

About