Yusrina Fitria

Yusrina Fitria

marquee Yusrina Fitria
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 12 Juni 2013

Pesan Cinta Bidadari Surga By Yusrina Fitria



PESAN CINTA BIDADARI SURGA
Yusrina Fitria

Pagi itu dingin tak seperti pagi – pagi yang ku lalui kemarin. Ayah masih sibuk memperbaiki kaca matanya yang hanya bertangkai satu. Ibu masih setia memainkan kakinya di pedal mesin jahit tua itu. Adikku, Diah, tidak berhenti tertawa melihat acara televisi yang sudah tak asing di pandangan kami. Ya. Acara televisi pagi itu memang menjadi tontonan wajib bagi adik semata wayangku ini.
“Apa persiapanmu untuk lomba tingkat provinsi minggu depan, Kak ?” Suara ayah menjadi nada awal yang menghangatkan dingin pagi itu.
“Belum ada, Yah.” Ku jawab ringan sambil memandangi kalender gratisan pemberian kantor Departemen Agama tiga bulan silam yang angka – angkanya penuh dengan lingkaran berwarna - warni. Lingkaran penanda tanggal pembayaran uang listrik, uang sekolah, dan masih banyak lagi. Lingkaran – lingkaran kreasi dari ibu.
 “Kakak sibuk dengan organisasinya, Yah. Aku saja tidak pernah melihat kakak latihan lagi.” Gadis empat belas tahun ini menyahut dari depan layar televisi.
“Kalau seperti itu, apa masih ada kesempatan untuk tahun ini ?” Nada bicara ayah mulai meninggi. Uap dari segelas teh hijau hangat di hadapannya membentuk embun di kaca mata yang baru saja ia perbaiki.
“Kamu yakin akan berangkat tahun ini ?” Terdengar suara ibu yang menyatu dengan suara mesin jahit tua yang dari tadi terus dimainkannya.
Insyaallah, Bu. Semuanya tidak akan pernah luput dari doa Ibu.” Aku menjawab lirih pertanyaan ibu yang seolah tak yakin padaku.
“Baguslah. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Jika hanya doa yang kita kirim, bagaimana bisa semua itu terwujud tanpa usaha ? Allah mencintai hambanya-Nya yang berusaha dan berdoa dengan sungguh – sungguh, Nak !” Ibu berhenti dengan keasikannya memainkan mesin itu sambil menolehkan wajahnya yang sudah tak lagi muda ke arahku yang dari tadi hanya menunduk sebab malu. Suasana pagi itu kembali dingin. Persis sedingin teh ayah yang tak mengundang embun lagi.
Tiga hari menjelang lomba di tingkat provinsi aku masih belum fokus untuk melantunkan bayyati. Rasa khawatir itu hadir bersamaan dengan untaian nasihat ibu yang menggema di dalam ruang pikiranku sejak empat hari lalu. Rasa khawatir bercampur takut jika tak bisa membawa nama baik provinsi di tingkat nasional seperti tahun kemarin.
“Ra, kamu sudah siap untuk menang lagi tahun ini, kan ?” Gadis bermata cekung yang duduk di sebelahku, Nisa, membangunkanku dari rasa khawatir yang dari tadi terus ku layangkan.
“Doakan saja, Nis.” Ku jawab singkat keoptimisannya dengan melempar satu senyum istimewa untuknya pagi itu.
Fa alla fa bayna quluubikum...” Bacaanku terhenti dengan hijaz yang tak lagi renyah.
Sudah beberapa bulan terakhir ini aku sibuk dengan tanggung jawab sebagi bendahara umum di organisasi sekolahku. Tak banyak waktu yang bisa ku luangkan untuk berlatih lagi. Layaknya pisau yang berkarat, suaraku tak pernah ku asah lagi. Padahal, dua hari lagi lomba akan dilaksanakan. Jangankan untuk meluruskan nahwan yang aku pun lupa bagaimana menyuarakannya, sedangkan untuk menyambung hijaz pun aku masih ragu.
“Ini, Nak.” Ibu mengejutkanku dari belakang dengan segelas air berwarna keruh di tangan kanannya.
“Apa ini, Bu ?” Indera penciumanku seperti berbicara ketika merasakan aroma jeruk nipis yang menusuk – nusuk hidung.
 “Sengaja ibu buatkan untukmu segelas perasan jeruk nipis hangat untuk mengendurkan suaramu yang dari tadi tertahan.” Segaris senyum ia ciptakan dari rona wajah penuh ketenangan.
Bukan ibu namanya jika tak perhatian dengan anaknya. Sama halnya dengan ibuku. Beliau memang menjadi salah satu cahaya inspirasiku dalam menaklukkan gelombang – gelombang yang bisa saja muncul tiba – tiba menghantam layaran yang belum cukup kuat untuk dibawa berlayar mengarungi samudera kehidupan ini.
“Peserta nomor urut tujuh, atas nama Humaira Azzahra akan membacakan surah Muhammad ayat dua puluh.” Suara dari microphone itu seperti menghentikan aliran darah yang dari tadi terus bertambah kecepatannya.
Ku mulai membaca tanpa salam dengan ta’awudz rendah dan basmallah yang tinggi satu tangga nada. Lampu yang semulanya hijau beralih menjadi merah. Ku lantunkan bayyati qarar untuk kedua kalinya sebagai tanda penutup tilawah kali ini. Selesai sudah penampilanku hari itu.
 “Jangan takut, Allah selalu mengingat hamba-Nya yang mengingat-Nya. Doa sudah ibu kirimkan. Sekarang kita hanya bisa berserah pada kehendak-Nya.” Suara ibu dari speaker telepon genggamku sudah cukup ampuh menenangkan hati yang sejak tadi dilanda badai kegalauan.
“Pemenang pertama MTQ cabang tilawah putri tahun ini atas nama Humaira Azzahra. Kepada pemenang dimohon naik ke atas panggung untuk menerima piala dan sertifikat dari bapak Gubernur kita.”
Ayah yang sejak awal lomba mendampingiku tiba – tiba menarik tanganku untuk maju ke depan. Aku masih setengah sadar mendengar pengumuman itu. Ya. Segala puji bagi Allah penguasa hari kemudian. Aku berhasil memenangkan lomba ini dan positif akan diikutsertakan ke tingkat nasional bulan depan di Kota Makassar.
“Semuanya sudah siap ?” Ayah lagi – lagi memastikan tidak ada barang yang tertinggal untuk keberangkatanku siang ini.
“Nak, Ibu hanya bisa  mengirimkan doa untukmu. Semoga Allah memberikanmu kekuatan dan kelapangan hati jika seandainya kau tak berhasil tahun ini. Semoga pula Allah masih menemanimu dan setia mengingatkanmu agar tak tinggi hati bila rupanya nanti kau berhasil, Nak.”
Ibu memelukku erat dengan getaran yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin getaran inilah yang mengirimkan magnet – magnet cinta agar sampai kepadaku. Sesekali ku lihat kristal – kristal embun berjatuhan dari ujung matanya. Tampak olehku betapa besar sebenarnya harapan ibu padaku.
“Ingat, Nak. Jangan jadikan perlombaan ini sebagai ajang menunjukkan siapa paling hebat. Luruskan niatmu untuk ibadah, lillaahi ta’ala. Jangan pernah menangis apalagi menyesal jika seandainya nanti kau tak menang. Allah punya rencana lain di balik semua yang tak sampai dari jangkauan mata kita. Jadilah muslimah yang kuat. Hati – hati mengarahkan batu sebelum engkau melemparnya.” Lagi – lagi aku tak bisa melepaskan dekapan ibu.
Burung besi terbang meninggalkan senyum ibu yang masih lengket di pandanganku. Ini kali kedua aku menjadi perwakilan kontingen provinsi di ajang yang sama. Besar harapku untuk bisa melambungkan nama provinsiku tahun ini. Namun, tak sebesar harap ibu untuk melihatku kuat menghadapi apa yang akan terjadi nanti.
Hari pertama di Makassar seakan membuatku masih tak percaya. Meski berada di atmosfer yang sama, tetapi udara di sini ku rasa sedikit berbeda. Lebih dingin dari udara di Aceh. Ingatanku tiba – tiba berlari menghampiri pesan ibu. Mungkin tidak akan pernah terhapus dari memori kapasitas menengah otakku.
Rabu, 20 Juni 2012 di masjid Baiturrahman, Makassar, ku pandangi wajah – wajah calon pemenang dari 32 kontingen provinsi seluruh Indonesia yang duduk di bawah kubah yang sama. Rasa pesimisku perlahan naik ke permukaan. Hanya pesan dan doa ibumengibarkan bendera kegalauan di layaran hati.

Aku telah selesai membawakan lima macam irama dalam pembacaan surah al – Maidah ayat satu sampai dengan empat dalam babak final saat diputuskan sehari sebelumnya aku menjadi salah satu dari sepuluh pembaca terbaik. Tiba saatnya menunggu hari esok dengan tanda tanya yang berbaris rapi di dalam diam. Doa dan pesan ibu masih setia terekam dalam ingatan. Di hari penentuan ini tak banyak harapku. Aku hanya ingin Allah berikan yang terbaik. Semoga Allah mengizinkan aku mengganti kristal – kristal yang jatuh membasahi pipi ibu.
“Baiklah, kami akan mengumumkan pembaca terbaik ketiga. Atas nama Nissa Mukarromah dari Provinsi Jawa Barat.” Rasanya aku tak kuat mendengar kelanjutan pengumuman ini.
“Selanjutnya, pembaca terbaik kedua. Atas nama Maghfirah Wahyuni dari Provinsi Jawa Timur.”
“Mengapa semuanya dari Pulau Jawa ? Apa pemenangnya nanti juga dari Jawa ? Jawa Tengah ?” Aku berteriak sekencang – kencangnya dalam hati. Aroma pesimis mulai tercium dari raut yang dari tadi tertegun sebab tak berani berkomentar banyak.
“Terakhir, pembaca terbaik pertama. Atas nama Humaira Azzahra dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kepada pemenang diminta naik ke atas panggung untuk menerima piala dari Kepala Dinas Pendidikan Nasional, Bapak M. Nuh.” Lelaki berjas hitam pekat itu berhasil meruntuhkan dinding – dinding ketakutanku akan kejadian satu tahun silam.
Segala puji bagi Allah yang telah memasukkan

yang mampu menjadikan optimisme yang hampir tenggelam ini tetap bertahan meski pasang surutnya terus siang ke dalam malam dan memasukkan malam ke dalam siang. Betapa cepatnya doa yang ibu kirimkan sampai kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Mungkin itu salah satu dari berjuta – juta keistimewaan yang Dia hadirkan dalam ruh seorang ibu, calon penghuni di singgasana-Nya. Bidadari berjubah cinta yang mengantarkanku menapakkan kaki menjadi mutiaranya. Bulir – bulir mutiara mataku yang menyeruak menjadi saksi walaupun harumnya kabar ini belum sempurna tanpa tepuk tangan bangga dari ayah dan ibu.
 

Blogger news

Blogroll

About