RINA-I SENJA DI UJUNG MATA
Amrinaa
Yusraa
Entah
dari mana akan kumulai kisah romantika di ranah kehijau – hijauan yang dunia
sebut dakwah ini. Diam sejenak. Izinkan ku urai untaian permata cerita yang sempat
puluhan pekan kumaknai dengan tinta emas pengorbanan, kesetiaan, dan
keikhlasan.
Ayah
pernah berpesan, “Jika kau mencintainya,
lillaah, Nak. Dekaplah ia dengan kehangatanmu. Jangan biarkan ia berpaling
darimu. Kerana cinta yang haqiqi memang datang dari tangan Rabbi yang Maha
Membolak – balikkan hati.”
Ini
bukan cerita tentang bagaimana aku terhunus bilah cinta dari insan manusia.
Bukan. Tapi, sungguh, kuharap kau tahu bahwa berdiri gagah di bawah payung yang
kau pinjamkan untuk beberapa waktu ini berhasil menghipnotisku. Mulai dari
taujih Rabbani yang membungkus pagi hingga taujih insani yang kadang menyindir
diri. Mulai dari berseteru memutuskan sesuatu hingga gelak tawa ringan sebab
sesuatu.
Jika
kau tanya pantaskah aku diberi sepotong amanah yang membuat mereka iri, maka
kan kujawab, “Tidak !” Kerana tak selamanya yang kuning itu emas, tak selamanya
yang mengkilat itu berlian. Di mata mereka, aku kan mampu mengangkat nama anak
dakwah ini ke permukaan. Walau kadang sempat mata tak mampu lagi terbuka, kaki
mulai terseok melangkah ke muka, dan hati mulai tak sempat tuk peka.
Di
awal cerita, aku sempat mengaduh pada zona yang perlahan menyiksa. Ada kala
tanpa tegur sapa, bahkan segan untuk menampakkan muka. Na’uudzublilllaah tsumma na’uudzubillaah. Aku kira mereka salah
memilih orang. Seharusnya bukan aku yang layak berdiri bersama mereka di bawah
payung yang sama. Bukan aku yang layak menguatkan pundak bersama mereka melawan
hebatnya angin yang lepas tertawa. Bukan aku yang layak berpangku tangan
mengusir kilat yang tiba – tiba menyapa. Bukan. Bukan pula aku yang layak
bersama mereka menanti tujuan ke dermaga perkasa menyambut pelangi indah yang
kabarnya akan singgah mewarnai dunia.
Mungkin
kali ini aku hanya bisa bernyanyi lewat sebait dua bait puisi yang penuh akan
diksi. Sempat mencuri simpati bahkan melunglaikan tungkai hati. Bernyanyi
tentang lagu yang kita cipta dan maknai sendiri. Menari dengan rinai yang
bersahaja kala senja hari sembari menghantarkan voucher bingkisan nasi.
*****
“Bu,
kami hanya ingin uluran hangatmu. Agar dakwah ini tak hanya sepanjang galah.
Jangan buat kami merasa bersalah.”
“Pak,
kami hanya ingin disambut senyum sumringahmu. Agar dakwah ini tak hanya
tinggalkan nama, tapi berjejak selama - lamanya.”
Episode
selanjutnya bercerita tentang perjuangan yang tak terlupakan bersama dinginnya
bulir rinai dan asrinya kota tercinta, Padang. Masih setia terpatri memori yang
kita lalui ketika proposal di kanan dan voucher di kiri. Aku kadang sibuk
senyum – senyum sendiri. Ini bukan untuk kita, tapi untuk ummat. Niat karena
Allaah walau sempat diteror lelah.
Kala
itu kita sama – sama memaknai bahwa berbicara tidak hanya untuk menghibur diri.
Tidak hanya menyampaikan keluh kesah di hati. Tapi, berbicara sejatinya mengajarkan
kita untuk mendengar. Mendengar bahwa nyatanya dakwah tidak cukup dengan hanya
niat di hati. Akhirnya kita sadar bahwa niat saja ternyata belum cukup.
Semangat saja juga belum cukup. Tapi cinta membuat kita bekerja dengan hati,
hingga lahirlah harmoni menapaki episode hari.
Cerita
kita bersambung dari ahad ke ahad lagi, tanpa henti. Agenda kita juga
bersambung dari ahad ketemu ahad
lagi. Cukup membahagiakan. Cukup menyenangkan. Cukup menyibukkan. Cukup
melelahkan. Namun tak cukup waktu untuk mengisahkan detail cerita yang meaningful dalam sejarah hidup. Pada manisnya gelak tawa kita atau asin
pahitnya air mata kecewa ingin kusampaikan bahwa aku bersyukur menjadi bahagian
dari kalian semua.
*****
Sederhana.
Ibarat sebuah kotak berukuran raksasa. Kira – kira ukurannya empat meter kali
empat meter. Kurang lebih luasnya enam belas meter persegi. Mungkin. Aku
awalnya bertanya – tanya. Bagaimana caranya petakan sederhana ini menjadi saksi
akan sejuta kisah kita. Tiada yang mustahal dan mustahil di dunia. Nyatanya,
hingga detik ini kita masih di bawah atap yang sama. Di atas permadani hijau
yang sama. Di antara tirai – tirai hijau muda yang sama. Ah, kawan. Sulit
bagiku mendeskripsikannya dengan barisan kata. Beri aku waktu untuk
menceritakannya. Namun, jangan sekali – kali beri aku waktu tuk melupakannya.
Di
sana, di petakan sederhana. Kan tetap mengalir peluh – peluh calon syuhada yang
kuharap kan tetap membara pula semangatnya. Tetap istiqamah ikrarnya. Tetap
kokoh pundak – pundaknya.
Di
sana, di petakan sederhana. Bukan hanya tempat berteduh sementara. Bukan
sebagai arena ‘penitipan’ adanya. Tapi, lihatlah pada rak – rak yang tersusun
rapi atau pada papan – papan pengumuman yang tak pernah sepi.
Di
sana, di petakan sederhana. Tak kenal musik ‘nakal’ atau lagu – lagu
‘sensasional’. Hanya ada murattal yang
mampu mengubah raut bahagiamu yang semula kesal. InsyaaAllaah.
Di
sana, di petakan sederhana. Aku pernah mendengar takbir yang menggema
memecahkan kesunyian pagi, kala jangkrik, semut, cicak, atau bahkan katak – katak ‘mungil’ masih belum
menampakkan diri.
Di
sana, di petakan sederhana. Sudah lahir ratusan bahkan ribuan nama calon
penghuni surga. Berani menggadaikan waktunya tuk pertahankan tegaknya bendera kemenangan
Islam lillaahi ta’ala. Berani mengukuhkan
genggaman tangan bersama saudara demi perjuangkan ‘tiada illah kecuali Allah semata’.
*****
Ledakan Energi Peradaban
Empat syuhada berangkat pada suatu malam
Gerimis air mata tertahan di keesokan
Telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan
simaklah itu sedu – sedan
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri
Mengukir reformasi karena jemu deformasi
Dengarkan saban hari langkah sahabat –
sahabatmu beribu menderu – deru
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah
turun dari bahu
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad
dua puluh satu
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi
kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri
Karena kalian berani mengukir alfabet pertama
dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri
Merah putih yang setengah tiang ini merunduk di
bawah garang matahari
Tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa
bersama
Dan kalian pahlawan bersih dari dendam
Karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta
dari Tuhan
(Taufik Ismail, 1998)
Puisi
enam belas tahun ini berhasil ‘mengguna – gunai’ku. Hingga sampailah memoriku
berlari pada satu kisah ketika Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Mana yang
lebih hebat bagi seseorang, antara dikokohkan (dimenangkan) atau diberi ujian.”
Lalu Imam Syafi’i menjawab, “Ia tidak dikokohkan sebelum diberi ujian” (Ibnu
Al-Qayyim: 283).
Demikianlah sunnatullah terjadi pada orang-orang
hebat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka tidak diberikan kemenangan sebelum diuji hingga berdarah-darah.
Karenanya Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Manusia yang paling dashyat
cobaannya adalah para anbiya’ kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang
serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran agamanya. Jika agamanya kuat, maka
cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
*****
Ketika sejenak
berpikir, sempat terlintas di benak, “Kenapa diri ini bisa dan ingin aktif di
UKK ? Hingga akhirnya ditakdirkan menjadi ‘kepala Biro’ seperti saat sekarang
ini ( akan lengser maksudnya, hehe ). Apa sebenarnya yang diri ini inginkan dan
yang akan diri ini dapatkan dari UKK sehingga ‘mau – maunya’ memberikan
sedemikian besarnya energi diri saat ini ( dan insyaaAllaah hingga kedepannya ) ?”. Terkadang, jawaban
muncul tanpa diundang, “Ilmu Islamkah yang diri ini cari di UKK ?”
Pernyataan
yang sering diucapkan oleh calon pengurus UKK pada umumnya ketika diwawancarai
pada awal kepengurusan dan ditanya, “Kenapa dinda pengen ikut UKK ? Di UKK gak
di gaji, loh J
”. Ternyata tidak, sebab jika hanya ini tujuannya maka tentulah diri ini masih
bisa dapatkan dengan mentoring mingguan yang setia dijalani dan juga lingkaran
ta’lim dalam momen – momen berkesempatan.
Mencoba flashback, sampai ketika diri masih terkategori
‘maba’, awalnya diri mengggumam , “Ah, gak perlu lah ikut UKK, gak mau!”. Lantas
apa yang membuat diri ini akhirnya bisa mengubah haluan hati ? Ternyata, sejatinya
(dengan merefleksikan diri di masa nun lampau barang tentu ) dakwah
lah yang menjadi motivasi besar tuk memautkan hati. Sedikit tertrigger dengan posisi yang tak kenal
kata mainstream. Kita butuh akan
hadirnya dakwah layaknya butuh bernafas setiap saat, makan setiap hari,
istirahat dengan cukup durasi, bahkan mandi dua kali sehari.
*****
Allaahumma Raabithataha
Bismillaahi...
Auudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim...
"zuyyina linnaasi hubbusysyahawaat..."
Tinggal beberapa pekan lagi kesempatanku merasuki celah - celah cerita kita yang mulai tampak ujungnya...
Tinggal beberapa hari lagi waktuku untuk menggentayangi bayang - bayang yang mulai tampak kan menghilang...
Bukan masalah waktu yang belum bisa menjinakkan galau..
Hanya saja keurungan niat tuk menyapa senja yang belum kesampaian...
Jangan tanya mengapa...
Sebab dari ujung - ujung hidung mulai tampak kristal yang menggantung...
Katanya kita kan kehujanan bersama...
Ditusuk - tusuk sinar mentari pun bersama...
Katanya kapal kita ingin merayap hingga sampai ke dermaga perkasa...
Diombang - ambingkan ombak dan angin yang selalu datang tiba - tiba...
Coba nikmati sebentar kue kering pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya dimakan bersama...
Coba nikmati gelapnya pagi sebelum kokok ayam bersuara pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya udara yang kita hirup bersama...
Sudah...
Auudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim...
"zuyyina linnaasi hubbusysyahawaat..."
Tinggal beberapa pekan lagi kesempatanku merasuki celah - celah cerita kita yang mulai tampak ujungnya...
Tinggal beberapa hari lagi waktuku untuk menggentayangi bayang - bayang yang mulai tampak kan menghilang...
Bukan masalah waktu yang belum bisa menjinakkan galau..
Hanya saja keurungan niat tuk menyapa senja yang belum kesampaian...
Jangan tanya mengapa...
Sebab dari ujung - ujung hidung mulai tampak kristal yang menggantung...
Katanya kita kan kehujanan bersama...
Ditusuk - tusuk sinar mentari pun bersama...
Katanya kapal kita ingin merayap hingga sampai ke dermaga perkasa...
Diombang - ambingkan ombak dan angin yang selalu datang tiba - tiba...
Coba nikmati sebentar kue kering pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya dimakan bersama...
Coba nikmati gelapnya pagi sebelum kokok ayam bersuara pagi ini, mungkin kita akan rindu betapa nikmatnya udara yang kita hirup bersama...
Sudah...
Lupakan
saja kecewa dan gundah gulana...
Seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan romantika di zona yang kita lingkari bersama...
Sudah...
Seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan romantika di zona yang kita lingkari bersama...
Sudah...
Lupakan
saja tangis dan haru yang pernah tercipta...
Seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan gelak tawa saudara seiman yang berjuang bersama...
Bersiaplah berdiri tegak menyambut pelangi yang kan lambaikan tangan ke kanan dan ke kiri...
Kerana indahnya ia menentukan indahnya romansa dakwah yang telah kita bina hingga kini...
Ini hanya problematika hati yang masih belum siap menampakkan diri di hadapan Illahi...
Tentang pertanggungjawaban diri terhadap dosa dan penyakit hati...
Hingga akhirnya diri hanya mampu menyendiri dan bermain dengan hari...
Semoga Allaah pertemukan kita di surga nanti...
Singkat kata, aku tak bisa melupakan kisah kita, dan kuharap kalian juga...
Seyogyanya akan segera tiba masa di mana kita merindukan gelak tawa saudara seiman yang berjuang bersama...
Bersiaplah berdiri tegak menyambut pelangi yang kan lambaikan tangan ke kanan dan ke kiri...
Kerana indahnya ia menentukan indahnya romansa dakwah yang telah kita bina hingga kini...
Ini hanya problematika hati yang masih belum siap menampakkan diri di hadapan Illahi...
Tentang pertanggungjawaban diri terhadap dosa dan penyakit hati...
Hingga akhirnya diri hanya mampu menyendiri dan bermain dengan hari...
Semoga Allaah pertemukan kita di surga nanti...
Singkat kata, aku tak bisa melupakan kisah kita, dan kuharap kalian juga...
Padang, 19 November
2014 00:04 WIB
"menanti pelangi yang kan segera tiba"
"menanti pelangi yang kan segera tiba"
---yusrinafitriaheriza.blogspot.com---
*****
Kubaca
firman-Nya. Sungguh tiap mukmin bersaudara. Aku tahu ukhuwah tak perlu
diperjuangkan kerana ia hadir hanya akibat dari iman. Aku jadi semakin yakin
bahwa ukhuwah memang bukan hadir untuk diperjuangkan. Kerana ketika ikatan
mulai tampak melemah, saat keakraban mulai tampak merapuh, saat salam perlahan
mulai menyakitkan, saat kebersamaan serasa bak sebuah siksaan, saat pemberian
serupa bara dalam genggaman tangan, dan saat kebaikan justru disulap melukai
perasaan. Ingatlah, itu tersebab bukan ukhuwah kita yang cacat, hanya tersebab
iman kita sedang tidak enak badan. I
still remember your eyes found a way to melt my heart.
Teruntuk
kakak KaMus dan kakak BendUm. Ingatkah pada pertemuan dan perkenalan kita
pertama ? Ya, Musyawarah kerja UKK di lantai III FIK ( kalo gak salah ) yang beraula. Aku sendiri menyaksikan bagaimana indahnya
campur tangan Tuhan yang menggerakkan kakiku berayun dan duduk di sebelah
bangku kanda berdua. Mulai saling memautkan pandangan mata hingga ayunan tangan
sembari menyapa. Aku sebelumnya tak kenal kanda berdua. Jujur, belum. Dan
ingatkah ketika Allah memperjalankan langkah kita bertiga menuju az – Zahra dua
tuk tunaikan Dhuha ? Allah memang romantis skenario-Nya. Hingga kita sama –
sama hadir dalam petakan yang sama, menghimpun rasa dengan cinta. Terima kasih
tuk sejuta episode yang telah kita lalui bersama. Bahkan nasihat – nasihat yang
mampu menjatuhkan bulir di ujung mata.
Alhamdulillah,
kini kita sudah mulai belajar banyak dari kisah. Kita belajar bahwa dalam hidup
ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih.
Memilih untuk tetap tinggal di sini atau pergi. Pergi bukan sekadar retorika
puisi, namun pergi yang bermakna kan datang lagi. Datang bukan sebagai sosok
yang ingin dipuja bahkan dipuji. Melainkan datang sebagai mentari yang tetap
setia menerangi atau ‘menyamar’ menjadi pelangi yang setia mewarnai.
Zinnirah, mungkin tak janggal singgah di
daun telinga. Sebab kecintaannya bermuara pada kata setia. Setia yang dibarengi
ikhlas lillaahi ta’ala, jangankan
sepasang bola mata, nyawa pun kan jadi taruhannya. Bagaimana dengan kita ? Sanggupkah
lima menit saja dikorbankan untuk dakwah ? Sanggupkah lima ribu rupiah saja
dikorbankan untuk dakwah ? Silakan bercermin pada ikhlas dalam diri. Sebab
ikhlas yang haqiqi adalah memberi arti bukan menanti bukti, memberi kebaikan
bukan pujian, menebar cinta bukan kerana ingin dipuja.
Special
thanks to Allaah subhaanahu wa ta’ala yang telah menitipkan
amanah ini di tangan yang mungil lagi kerdil. Shalallaahu ‘ala Muhammad, teruntuk habiballaah yang telah mengajarkan kami arti cinta, kerja, setia,
dan memaknai setiap ukiran yang tercipta dari kata saudara. Syukran jazaakumullaah khairan katsiiraa
teruntuk ikhwan wa akhwat rahimakumullaah yang sempat meminjamkan
senyumnya, menumpahkan peluhnya, menyodorkan waktunya, serta mengikhlaskan
rupiahnya dalam agenda – agenda dakwah yang kita hadiahkan bersama. Kerana
episode baru belum selesai, melainkan baru saja dimulai.
Tetaplah menjadi jundi yang taat. Sebab semakin tinggi
pohon, semakin kencang pula angin yang datang menggoyahkannya. Pohon
perjuangan yang telah kita tanam selama ini telah tumbuh menjulang. Wajar,
terpaan angin pun serasa semakin kuat. Agar pohon ini tetap melekat, satu-satunya
cara adalah dengan menyulap akar - akar taqwa menjadi kian kuat. Kalau pun satu
pohon harus tumbang kerana uzur usia atau ketidakmampuan akar menahan
dahsyatnya terpaan angin yang datang menyapa, kita tetap bisa tersenyum manis sebab
pohon-pohon perjuangan kita telah bertumbuhan dimana-mana. Kini sehebat apapun
angin ujian, badai ujian, selama kita selalu berakarkan keimanan dan ketaqwaan
tak akan pernah mampu merusakkan jutaan pohon kebaikan yang telah kita tanam.
Jangan biarkan dedaunnya lantas menguning, tetap jaga hijaunya yang menyejukkan
mata. Mata yang rindu akan santun dan tegur sapa antar saudara.
-----Kutulis ini
bersama ‘rinai senja di ujung mata’.
Berharap ada
pertemuan selanjutnya dalam belaian indahnya surga-----
Shadaqallaah ‘aliyyul ‘adzhiim...
Solok, 29 November 2014, 22 : 14
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar