Jumat, 5 September 2014. 22:09 WIB.
Selamat malam untuk hati - hati yang sedang inginkan kehangatan sebab kedinginan dikerumuni rindu. Selamat malam untuk jiwa - jiwa yang masih gentayangan mencari yang dirindu. Selamat malam untuk suara - suara yang bersembunyi di balik keheningan yang masih beruntung untuk memiliki perindu.
Hujan kadang turun sebentar untuk melihat jika ada sudut - sudut yang masih menjadi pelampiasan rasa dingin yang tak menentu sebab rindu. Ia kembai sebentar ke pangkuan nirwana awan - awan hitam tanpa bulan yang menemani. Ia tahu, di barat Sumatera ada seonggok hati yang masih menggigil kedinginan sebab merindu. Dingin bukan kerana suhu.
Ada teorema baru dari lipatan di halaman terakhir buku hijau muda yang bertulis, "ada satu waktu di mana indah tak hanya menjadi hak mata." Mungkin hanya retorika kerinduan yang menumpang tinggal untuk beberapa waktu. Menunggu hingga hadirnya pertemuan kesekian kalinya itu. Bukan pertemuan di mana kita belum tau yang tersimpan dalam qalbu, namun pertemuan yang menuntutku untuk malu pada sepucuk salam dari sosok yang dirindu.
Jangkrik yang takut menampakkan diri hanya berani bersuara. Bohlam yang tegak lurus dengan lantai marmer hijau muda seketika padam bersama mata yang belum mampu terpejam. Walau diri sadar sudah termenung berjam - jam. Atau ada suara lain dari sisi kiri almari hitam pekat yang menjadi tempat persembunyian paling strategis si cicak abu - abu ? Ah, tidak. Itu hanya bunyi gesekan pintu yang dari tadi menantikan seorang tamu.
Ponsel putih buatan negara tetangga sebelah mendadak menyala dan mengeluarkan suara bayi lucu. Ah, ternyata ada telpon darimu. Ada sepotong semangat baru dari nama yang dirindu. Ada tambahan energi dari nama yang bisa lamunkan diri. Ada kiriman salam rindu tuk bertemu dari orang yang setia menunggu.
Pekan depan sepertinya adalah waktu terbaik meluapkan rimah - rimah kekesalan yang sejak empat bulan lalu membelenggu. Ah, hujan. Untung kau datang malam ini. Aku bisa bercerita tentang sepasang anak manusia yang merindukan pertemuan di surga-Nya. Tentang sepasang anak manusia yang tersiksa sebab tak lihai menjinakkan waktu. Sabar untuk pertemuan yang selalu ditunggu.
Ah, hujan. Jangan pergi dulu. Ceritanya belum selesai. Aku belum bisa membuat ringkasan percakapan di hari setelah empat bulan tak bertemu. Aku akan hapal itu, kerana lidah kini benar - benar kelu. Untunglah, malam kini mulai terang walau tanpa pelangi. Setidaknya aku tak perlu takut walau hujan pergi meninggalkanku. Aku cukup berdiri di balik pintu, menghapal diksi - diksi pilihan yang kan terlontar di pekan Rabu. Sudahlah, hujan. Di sini aku sedang riuh, rusuh. Jika memang itu maumu, hanya satu pesanku. Jangan kembali ketika kami bertemu. Cukup Allaah Yang Mahatahu.
Padang. 22:38 WIB.