CINTAKU TAK
SELEMBUT MERAH JAMBU
Yusrina Fitria
“Kak,
bantu aku menyelesaikan tugas lukisku ini ya, aku capek.” Dia mengejutkan aku
dari belakang sambil menyodorkan lukisan setengah jadi itu ke wajahku.
“Kau
tak lihat aku sedang apa ?“ Suaraku memecahkan keheningan malam itu. Dia sontak
terdiam.
“Lebih baik aku menyelesaikan tugasku daripada
melanjutkan lukisanmu yang abstrak ini ,” sambungku lagi.
Ku
arahkan pensil 2B ku yang sudah tinggal setengah batang lagi sambil menusuk –
nusukkan jariku ke lukisan yang tak mau ku teruskan itu.
“Kalau
aku tak pusing berat seperti ini pasti aku akan lanjutkan lukisan jelek ini,
Kak. Aku hanya ingin mengistirahatkan kepalaku yang rasanya mau pecah ini !”
Tangga nada suaranya sontak meninggi. Menggema di kamarku yang hanya ada kami
berdua.
Detik
itu juga embun dari matanya berubah menjadi titik – titik hujan yang membanjiri
ruangan sempit itu.
“Apa
aku salah ngomong ? Gak kan ?”
Aku
tak pernah lupa kejadian 6 tahun lalu yang menghapus gores demi gores kata
sayangku untuknya. Saat dia menumpahkan
kehangatan teh cap Bendera yang sengaja dibuatnya untukku malam itu ke buku
yang setengah mati ku isi dengan jutaan angka. Buku tugas bersampul kacang yang
sudah habis usia akibat tangan adikku sendiri. Semenjak saat itu aku
sembunyikan dendam yang bukan main parah. Sakit hatiku menggunung. Menangisi
lembar demi lembar soal matematika yang ukirannya tak bisa lagi dibaca. Rasakan
olehnya bila tugasnya tak selesai. Dulu, dia hanya beri aku sepotong kata maaf
dan segelintir permohonan yang sampai saat ini belum bisa menyurutkan gelombang
amarahku.
“Zahra
! Kenapa kau tak mau bantu adikmu ?” Aku kenal suara itu. Itu suara ibu.
“Ya,
Bu ? Kenapa ?” Aku melangkah kecil ke pintu kayu kamarku untuk menjawab sahut
pertanyaan yang sebenarnya malas aku jawab.
“Kau
tidak lihat ? Adikmu ini sakit.” Lagi – lagi ibu membelanya.
“Tutup
buku tugasmu ! Lanjutkan lukisan adikmu ini ! Tidak ada kata tidak mau. Untuk
apa dia punya kakak, kalau masih aku juga yang membuatkan tugasnya ?” Ibu
kelihatan amat marah melihat Sahara yang tak bisa menahan tangis karena egoku.
Terlahir
dengan nama Zahra Yahya membuat aku tidak pernah merasa bahagia. Predikat
‘Yahya’ yang aku pakai hingga alam kuburku nanti tidak pernah menjamin hidupku
akan menggoreskan tawa. Jangankan tawa, senyumpun aku tak pernah. Selama 17
tahun bernafas aku masih merasa namaku hanya Zahra saja. Tak perlu gelar Yahya.
Bagaimana tidak, aku disebut anak kandung seperti yang tertera di surat tak
berguna yang orang sebut itu akta kelahiran. Akan tetapi, aku tetap merasa
seperti bayi yang lahir tanpa orang tua. Dibungkus daun pisang dan
ditelantarkan di ujung jalan. Menunggu belas kasihan orang yang akan
memungutku. Sampai akhirnya aku bisa disuapkan makan dan diberi sepotong baju
dari keluarga Yahya ini. Itu hanya rasa – rasaku saja yang terus meratapi
betapa besar pohon diskriminasi itu tumbuh dan tak akan pernah mati dalam
keluarga yang dipimpin oleh Ummar Yahya ini.
Sebagai
anak sulung, aku harus tunduk tiap detiknya kepada adik perempuan semata
wayangku, Sahara Yahya. Umur kami hanya terpaut satu tahun saja. Ini adalah
keterbalikan fakta yang orang jumpai di keluarga janggalku.
“Sebesar
apapun kesalahan Sahara, apapun yang dilakukan Sahara, tetap Zahra yang harus
mengalah !” Kalimat ini membuatku tak berkutik. Menundukkan kepalaku dengan
segala ketidakberdayaanku. Bila aku sudah menamatkan impianku menjadi pemilik
gelar SH nanti, aku akan duduk di bangku dewan yang orang sebut si pembuat
peraturan. Aku akan ubah kalimat – kalimat ibu yang mengiris – iris hatiku ini.
Aku
sadar bahwa rasa cinta dan kasih sayangku yang tulus yang kupikul demi keluarga
Yahya ini hanya sekadar penyedap rasa. Haruskah aku bergelut dengan
ketidakadilan yang membinasakan tiap lontaran kata – kataku ? Pantaskah
predikat Yahya itu bersanding dengan sebuah kata Zahra ? Ini bukan cinta merah
jambu. Ini cinta yang berakhir cemburu. Aku cemburu melihat ibu yang menyuapi
makanan ke mulut Sahara. Aku cemburu melihat hukum diskriminasi dalam keluarga
ini seperti menggerogoti urat – urat sarafku, dan itu hanya berlaku untuk aku.
Aku cemburu melihat adik yang bermain dan bersenda gurau dengan kakaknya di
luar sana. Aku cemburu melihat ayah yang membawakan tas untuk Sahara. Aku cemburu saat melihat ibu
memakaikan kerudung ke kepala Sahara. Tuhaaaan.... Kapan aku diperlakukan seperti
itu ?
“Bu,
Zahra berangkat sekolah dulu, assalamualaikum...”
Aku
langsung keluar rumah dengan mengarahkan bola mata ke arah pintu. Pagi itu tak
tampak reaksi ibu yang akan memberi kecupan untukku. Inilah yang biasa kusebut
ironi merah jambu.
Sampai
di sekolahpun aku masih bertanya – tanya dalam hati. Apa memang ibu sudah tak menyayangiku
lagi ? Kuhapus perlahan embun – embun di ujung mataku yang terasa dingin tak
sedingin kasih ibu padaku.
“Kenapa
mukamu Zahra ? Aku timpuk pake buku ya biar gak melamun lagi. Pluuuk ! ”
“Auww...
Sakit Fathir ! Kamu gak ada kerjaan ya ? Lebih baik kerjakan tugas matematikaku
ini. Aku gak sempat lagi membuatnya karena sibuk menyelesaikan lukisan adikku.
Tolong ya.” Ku keluarkan buku kotak – kotak warna kuning itu dan langsung ku
letakkan di atas meja Fathir sambil memberi satu senyum gratis untuknya.
“Kamu
baik sekali sama Sahara, biasanya berantem terus. Kamu gila ? Tugas matematika
itukan banyak ?”
Ku
bungkam mulut Fathir yang terus mengeluarkan komentar – komentar tak bermutu
itu dengan 3 potong pergedel jagung yang sengaja ku buat pagi tadi. Aku tahu,
kalau sudah bicara pergedel, Fathir pasti bungkam sejuta kata dan langsung mau
membantuku.
Fathir
Hasbi, bintang kelas, teman sebangku, sahabat karib, dan cinta pertamaku.
Bercerita
tentang Fathir berarti sama saja membongkar habis aib kisah cinta seorang Zahra
Yahya. Bayangkan saja, aku sudah mengenal Fathir sejak duduk di bangku sekolah dasar
kelas satu dan aku adalah satu – satunya orang yang selama enam tahun setia
duduk di sebelahnya. Selama itu aku tak pernah mengenal yang namanya cinta.
Walau sebenarnya aku haus akan cinta.
Semenjak
ditakdirkan sebangku lagi di sekolah menengah pertama yang sama dengan Fathir,
tepatnya waktu itu kami baru memulai tahun ajaran baru kelas IX. Awal kelas IX
itu menggugah keremajaanku yang selama ini beku. Momentum merah jambu ? Siapa
yang lupa akan tanggal 14 Februari ? Dihari serba merah jambu aku selalu
menunggu laki – laki berhidung mancung itu memberiku sebatang coklat. Tapi, itu
adalah mimpi yang tak kunjung jadi nyata. Sampai hari dimana seluruh dunia
tersenyum menghiasi liku – liku cinta mereka dengan mawar merah dan sebentuk
hati untuk pujaan hati mereka tahun itu, ku lihat Fathir membawa sebungkus
permen coklat minimalis. Dengan tulisan yang tak bisa ku baca lagi karena
tintanya sudah memudar.
“Ra,
lihat ini. Kau tahu ini apa ?” Dengan suara seperti orang sudah menangis dia
menyapaku perlahan.
“Ini
adalah pemberian terindah dari wanita yang paling kucintai dan kusayangi di
dunia ini. Aku tak akan pernah menggantikan kedudukannya di dalam hatiku yang
kecil ini.” Wajah Fathir nampak mendung sambil mengarahkan bungkusan permen
coklat warna merah itu tepat di hadapanku. Diambilnya tanganku dan diletakkannya
di dadanya yang bidang. Mungkin dia hanya meyakinkan aku, inilah hatinya, hati
Fathir.
Aku
mulai tak tentu berpikir. Darahku seperti berhenti mengalir. Otakku terus
berotasi, siapa wanita yang beruntung itu ? Apa itu aku ? Sepertinya aku
bermimpi lagi. Jelas saja wanita itu bukan aku. Kutundukkan kepala sebagai
bentuk aku turut merasakan kesedihannya, walaupun kenyataannya arti tundukanku
itu adalah sebuah keputusasaan. Detik itu kumerasa harus melupakan Fathir.
Fathir menyukai orang lain.
“Kau
ingat ibuku, Ra ?”
“Ya,
kenapa dengan ibumu?”
Aku
angkat pelan – pelan daguku. Aku bingung. Apa hubungan antara wanita itu dengan
ibu Fathir ? Apa mereka berdua sudah dijodohkan ? Hatiku hancur dalam hitungan
detik. Ibarat gedung tua yang runtuh seketika.
“Coklat
ini. Coklat ini pemberian ibuku. Wanita yang paling aku cintai di dunia.
Sekarang wanita yang ku puja itu ada di rumah sakit. Kau bisa bayangkan jadi
aku kan Ra ? Aku tak mau kehilangan ibuku. Dia adalah hidupku.”
Dua
bulir embun itu jatuh dari ujung mata Fathir yang telah mengalihkan duniaku.
Bulir yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Kali ini aku seperti melayang di
surga. Ternyata wanita yang kucurigai itu adalah ibunya sendiri. Keputusasaan
yang aku terbangkan tadi langsung ku tangkap, ku ikat kuat – kuat, dan tak akan
pernah ku terbangkan lagi. Aku bingung. Aku harus senyum atau ikut tenggelam
dalam lautan bulir itu ? Rasanya ingin sekali aku jatuhkan tanganku ke
pundaknya. Rasanya aku ingin hapus bulir yang membasahi relief pipinya.
Ibu
? Pikiranku berlari ke arah pohon diskriminasi itu. Fathir menjatuhkan bulir
mutiaranya demi ibu ? Sedangkan aku ? Aku menangisi ibu karena ibu tak pernah
mengerti aku. Aku coba menyatu dalam detak jantung Fathir. Kuhentikan aliran
bulir itu sejenak.
“Sudahlah,”
kataku lemah. “Aku mengerti tentang perasaanmu. Kita sebagai anak hanya bisa
bersabar dan berdoa kepada Tuhan agar Ia memberi yang terbaik untuk ibu yang
kita sayang.” Aku tak tahu bagaimana menghiburnya, sedangkan menghibur diriku
sendiri saja aku sudah tak mampu.
“Aku
takut kehilangannya, Ra.”
Aku
tak tahan melihatnya menangis. Baru kali ini aku melihat laki – laki menangis
walau hanya tangisan ringan. Tapi ini beda. Berhasil menyentuh lapisan terdalam
hatiku, menembus hati yang berlapis – lapis.
“Hapuslah
air matamu itu. Kau sudah besar, Thir.” Kalimat yang ku gunakan untuk menghibur
hatiku dan Fathir yang kurasa sulit untuk direalisasikan.
Ibu.
Sewajarnya Fathir takut kehilangan ibu yang selalu memahami perasaannya. Tapi
ibuku, wajarkah aku takut kehilangannya ? Jangankan memahami, memberi segaris
senyum saja rasanya amat sulit. Kubawa ingatanku ke tujuh belas tahun yang
lalu. Jika ibu yang melahirkan aku, apa aku pantas disebut anak yang baik di
mata Tuhan bila aku sendiri tak pernah meneteskan darah dari mataku karena takut
kehilangan ibu ? Sejujurnya, hidupku ini hanya karena ibu. Dari pesan Tuhan aku
dilahirkan lewat rahim pertamanya. Melewati masa kritis antara hidup atau mati.
Seharusnya jangankan untuk kehilangan, tak melihat sebentar saja aku rasanya
rindu akan nyanyian masa kecilku yang dihadiahkan ibu. Walaupun mungkin kasih
ibu hanya untuk Sahara. Tapi, apa aku tidak pantas mendapatkan satu pelukan
saja ? Sudahlah, lupakan.
Bel
pulang adalah satu – satunya bunyi yang paling kubenci. Itu tandanya aku harus
berpisah dengan Fathir. Hal yang paling membuatku malas beranjak dari tempat
duduk adalah suasana gua dan pohon diskriminan keluarga Yahya itu.
Di
perjalanan pulang kutemui ibu tua yang sedang menggendong seorang anak kecil
dengan pakaian yang tak layak digunakan sambil menjulurkan tangan kanannya
meminta belas kasihanku. Aku langsung teringat ibu.
“Nak,
kasihani anak ibu. Dia sakit, belum makan dua hari.” Ibu tua itu mengerutkan
dahinya yang sebenarnya sudah kerut.
Aku
diam sejenak. Ibu ini meminta kepadaku bukan untuk makannya, tapi untuk makan
anaknya. Pikiranku langsung sampai ke rumah. Membayangkan bagaimana kalau ibuku
di posisi ibu tua itu. Dengan mengusap air mata yang turun tiba – tiba kugali
kantung bajuku dalam – dalam. Syukurlah masih ada uang pecahan dua puluh ribu.
Mungkin ini tidak cukup, tapi semoga saja ibu tua itu tak marah karena aku
hanya beri dia satu lembar uang saja.
Kutatap
mata yang sudah berumur itu dalam – dalam. Dia tak mengatakan apa – apa selain terima
kasih. Tapi aku bisa lihat, sambil dia berjalan meninggalkanku dia mengangkat
tangan selayaknya orang sedang berdoa. Aku terharu. Hari itu seperti hari
titipan dari Tuhan yang mungkin sengaja diberikan untuk menyirami keberapian
cemburuku akan mereka.
“Hari
ini aku harus berubah. Tuhan, aku sadar ini adalah teguran. Aku harus minta
maaf kepada mereka. Aku yakin, siapapun aku, anak kandung atau anak angkat,
pasti orang tuaku sayang kepadaku. Terutama ibu. Mana mungkin aku disekolahkan
sampai setinggi ini, dibesarkan seperti ini kalau mereka tak sayang padaku.”
Aku berbisik sendiri mengusir jauh – jauh energi negatif yang selama ini
tertidur lelap dalam rasa cemburuku.
Ku
ayunkan kaki pelan – pelan hingga akhirnya sampai di depan rumah. Senyum Sahara
sudah sampai lebih dulu.
“Sudah
pulang kamu, Kak ?” Sahara menyambutku di depan pintu rumah seraya mengenakan
jilbab merah jambu.
“Iya.
Kau suka sekali memakai warna itu. Apa tak ada warna lain yang lebih enak
dipandang ?” Jawabku sambil duduk di teras dan membuka sepatu kulit ukuran 40.
“Terserahlah,
Kak. Kakak tak pernah bosan menanyaiku tentang itu,” jawabnya.
“Pasti
Kakak tahu aku akan jawab apa. Ini warna kesukaanku. Apa yang salah dengan
warna ini ? Ah, sudahlah !”
Sahara
sepertinya marah padaku. Berpaling membelakangiku dan bergegas lari ke dalam
rumah. Mungkin dia bosan mendengarkanku bersenandung ria dengan muka kesal
sampai membuat amarahnya memuncak karena aku tak pernah suka melihatnya memakai
warna terkutuk itu. Banyak hal yang membuatku benci warna itu. Tapi sulit
untukku mengurai alasan yang mungkin orang anggap tidak rasional.
Belum
sempat aku duduk menghela napas dari perjalan menuntut ilmu tiba – tiba ibu
sudah tiba datang dengan amarah, menyuruhku membereskan rumah. Sekali lagi,
alasannya adalah Sahara sedang sakit.
Ku
ambil sapu dari ijuk dengan tangkai biru sambil mengelap mukaku yang
bergelimangan keringat dan sedikit asin. Kumulai langkah pertama menyapu ke
kamar ibu. Baru saja aku hendak mengayunkan sapu tidak sengaja kulihat selembar
kertas berkop surat dari sebuah rumah sakit. Kugerakkan telunjuk ke arah bawah
kertas yang bertulisan hitam tebal.
”Sahara Yahya, positif kanker otak stadium 3.”
Apa
? Hujan lebat itu datang seperti dimohon jangan surut membasahi kertas yang
memberhentikan detak jantungku. Gemuruh petir bersahut – sahutan dalam area
jantungku. Kudengar langkah ibu yang sepertinya ingin masuk ke kamar. Langsung
kuhapus bulir demi bulir air mataku, kulipat cepat kertas itu dan ku buat
suasana seperti tak terjadi apa – apa. Ibu masuk ke kamar dengan sepiring besar
ayam bakar manis kesukaanku. Dia tersenyum. Tak biasanya dia memberi selengkung
senyum.
“Ini
untuk siapa, Bu ? Pasti untuk Sahara.” Aku seperti diundang bicara kepadanya.
“Bukan,
ini untuk kamu. Apa kamu lupa ini hari ulang tahunmu ? Selamat ulang tahun yang
kedelapan belas ya anakku sayang.” Ibu meneteskan air matanya. Didaratkannya sebuah
ciuman yang baru pertama kali kurasakan hangatnya. Inilah mimpi itu. Mimpi itu
jadi kenyataan. Aku saja lupa dengan ulang tahunku. Aku teringat lagi dengan
kertas yang menyayat – nyayat hatiku tadi. Sahara. Mungkin dia sengaja
menungguku di depan pintu tadi. Pasti dia ingin mengucapkan selamat ulang tahun
padaku. Tapi, karena aku memarahinya... Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan ?
Hari
ini benar – benar adalah surga dunia pertamaku. Aku benar, ibu ternyata sayang
padaku. Kado ulang tahun terindah seumur hidupku.
Pagi
itu Sahara tanpa permisi masuk ke kamarku sambil berlari.
“Kak,
ini. Baca di sekolah ya. Salam sama Kak Fathir. Bilang sama dia kalau kau
menyukainya. Janji ya !”
“Hah
? Surat ? Suka dengan Fathir ? Gila !” Belum sempat aku menjawab perkataannya
langsung saja dia lenyap seketika dari belakangku. Aku bergegas pergi ke depan
jalan untuk menunggu angkutan umum. Pagi ini aku sengaja tidak jalan kaki
karena ingin segera membaca surat dengan amplop warna terkutuk itu.
Ku
buka surat itu hati – hati.
Hatiku, 18 Mei
2007
Untuk
Kak Zahra tercinta,
Selamat ulang tahun
Kak. Hari ini aku tahu adalah hari terindah dalam hidupmu. Kau tahu, aku sangat
menyayangimu, aku sangat mencintaimu. Jika kau tahu bahwa aku tak henti – hentinya
meneteskan air mata saat menulis surat pertama untuk orang terbaik sepertimu.
Di manapun aku, sedang apapun aku, aku selalu berdoa kepada Tuhan agar kau
diberi kepanjangan umur. Maaf Kak. Bila selama ini aku selalu menyusahkanmu.
Mungkin Kakak tak tahu, ditiap gelap malamku aku selalu bersujud dalam Tahajjud
berdoa untuk Kakak dan ibu. Aku terus berusaha menjadi adik yang terbaik
untukmu dan menjadi anak yang tidak bermanja ria kepada ibu. Sampai akhirnya
aku memberanikan menulis surat ini sebagai bukti aku sangat menyayangi kalian.
Ingat Kak, cinta itu tak kuning seperti yang kau bayangkan. Cinta itu tak bisa
dilukiskan dengan warna. Kau bilang cinta itu akan mati seketika orang yang
mencintainya mati ? Tidak. Cinta aku dan ibu kepadamu tak akan pernah mati.
Bila suatu saat nanti aku tidak ada, mungkin kau tak akan punya teman untuk
bertengkar lagi. Mungkin kau akan diam membisu karena tak punya orang yang
harus dimarahi gara – gara si merah jambu lagi. Aku juga akan menyesal karena
belum sempat memeluk dan mencium orang yang kusayang, dan itu adalah Kakak. Aku
ingin sekali Kakak memakaikan kerudung merah jambu ke kepalaku. Andai saja....
Oh ya Kak. Maaf aku
sudah lancang membaca diarimu. Aku tahu kau menyukai Fathir. Bilanglah padanya
kalau kau menyukainya. Sebelum dia akan pergi meninggalkanmu. Jangan sia –
siakan orang yang ada di sampingmu, Kak. Jaga ibu baik – baik. J
J
J
J
J
AKU MENCINTAIMU...
Peluk ciumku
Sahara Yahya
Tetes
demi tetes kujatuhkan embun mataku saat membaca tulisan indah itu. 18 Mei ?
Berarti benar dugaanku. Hari itu dia ingin mengucapkan sesuatu. Menyesalnya aku
memarahinya tiga hari yang lalu. Bayanganku kembali mengarah ke surat yang
menyatakan bahwa Sahara positif kanker otak stadium 3. Apa ini sebuah pertanda
? Ya Tuhan, kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Surat itu
kututup dan kucium dengan penuh perasaan membayangkan bahwa aku sedang mencium
dahi sang penulis surat.
Bel
pulang berbunyi. Kugerakkan dengan cepat kakiku, tak sabar ingin bertemu Sahra
dan ibu. Dari jarak jauh kulihat bendera kuning berkibar. Aku menyangka ada
orang sedang membuat pesta pernikahan. Tapi aku rasanya terjatuh dalam curamnya
jurang yang melenyapkan senyum kebahagiaan tiga hari yang lalu. “Bendera kuning
itu tanda kematian !” Seketika kuteringat Sahara. Semakin mendekat. Bendera itu
tepat dipasang di depan rumahku. Kulihat kerumunan orang berusaha mengelus punggungku.
Rasa bersalahku semakin menguap. Apa yang terjadi ? Ibu berlari dari dalam rumah
menghampiri dan memelukku dengan mata merah yang bergelimangan mutiara amat
pilu.
Apa
yang sebenarnya terjadi ? Di mana merah jambuku ? Di mana dia ? Dia tak tampak
dari tadi. Aku tak bisa menahan lagi rasa bersalah ini. Sahara telah pergi.
Sahara adikku. Si merah jambuku.
Ku
lepaskan pelukan ibu dan berlari ke dalam mencium seluruh wajah pucat adikku
yang hanya tinggal jasad.
“Sahara,
jangan tinggalkan kakak!” Penyesalanku tak terbendung lagi. “Kakak janji tak
akan marah kepadamu lagi. Kakak mencintaimu Sahara. Kakak akan memelukmu,
menciummu, dan memakaikan jilbab merah jambu ke kepalamu. Bangunlah. Temani
kakak. Kakak hanya sendiri di sini. Jangan pergi !!!”
Aku
berteriak histeris sambil memeluk tubuh manusia yang dari tadi tak menjawab
teriakanku. Ibu berusaha menarikku. Memelukku erat sambil memberikan sehelai jilbab warna kesukaan Sahara.
“Sebelum
dia pergi, dia titip ini untukmu. Ibu tak tahu apa maksudnya.”
Suara
ibu masih tak jelas terdengar karena bercampur tangis yang menusuk – nusuk hati.
Aku tak tega melihat ibu menangis. Langsung kugapai jilbab itu dan aku pakaikan
ke kepala Sahara. Aku mengerti maksudnya menitipkan jilbab itu. Aku masih
dihantui rasa menyesal yang amat besar. Aku berjanji akan menjaga ibu. Aku
harus kuat. Inilah jadinya. Akibat keegoisanku. Aku menyesal.
Seminggu
setelah hari isak tangis itu, belum sempat aku menjalankan kemauannya untuk menyatakan
perasaan pada Fathir, tapi kulihat Fathir bersama perempuan lain. Jauh lebih
cantik dari aku. Ia terlihat sedang menyuapi Fathir dengan penuh perasaan. Aku
lihat raut wajah Fathir yang sangat bahagia di samping perempuan berambut
panjang itu. Kutelan habis rasa percaya diri sampai urung niat yang tadi
menggebu, mewujudkan keinginan Sahara. Mungkin ini memang jalannya. Semuanya
tak selembut merah jambu.