PESAN
CINTA BIDADARI SURGA
Yusrina Fitria
Pagi itu dingin tak seperti pagi – pagi yang ku
lalui kemarin. Ayah masih sibuk memperbaiki kaca matanya yang hanya bertangkai
satu. Ibu masih setia memainkan kakinya di pedal mesin jahit tua itu. Adikku,
Diah, tidak berhenti tertawa melihat acara televisi yang sudah tak asing di
pandangan kami. Ya. Acara televisi pagi itu memang menjadi tontonan wajib bagi adik
semata wayangku ini.
“Apa persiapanmu untuk lomba tingkat provinsi minggu
depan, Kak ?” Suara ayah menjadi nada awal yang menghangatkan dingin pagi itu.
“Belum ada, Yah.” Ku jawab ringan sambil memandangi
kalender gratisan pemberian kantor Departemen Agama tiga bulan silam yang angka
– angkanya penuh dengan lingkaran berwarna - warni. Lingkaran penanda tanggal pembayaran
uang listrik, uang sekolah, dan masih banyak lagi. Lingkaran – lingkaran kreasi
dari ibu.
“Kakak sibuk dengan
organisasinya, Yah. Aku saja tidak pernah melihat kakak latihan lagi.” Gadis
empat belas tahun ini menyahut dari depan layar televisi.
“Kalau seperti itu, apa masih ada kesempatan untuk
tahun ini ?” Nada bicara ayah mulai meninggi. Uap dari segelas teh hijau hangat
di hadapannya membentuk embun di kaca mata yang baru saja ia perbaiki.
“Kamu yakin akan berangkat tahun ini ?” Terdengar
suara ibu yang menyatu dengan suara mesin jahit tua yang dari tadi terus
dimainkannya.
“Insyaallah,
Bu. Semuanya tidak akan pernah luput dari doa Ibu.” Aku menjawab lirih
pertanyaan ibu yang seolah tak yakin padaku.
“Baguslah. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Jika
hanya doa yang kita kirim, bagaimana bisa semua itu terwujud tanpa usaha ?
Allah mencintai hambanya-Nya yang berusaha dan berdoa dengan sungguh – sungguh,
Nak !” Ibu berhenti dengan keasikannya memainkan mesin itu sambil menolehkan
wajahnya yang sudah tak lagi muda ke arahku yang dari tadi hanya menunduk sebab
malu. Suasana pagi itu kembali dingin. Persis sedingin teh ayah yang tak
mengundang embun lagi.
Tiga hari menjelang lomba di tingkat provinsi aku
masih belum fokus untuk melantunkan bayyati.
Rasa khawatir itu hadir bersamaan dengan untaian nasihat ibu yang menggema di
dalam ruang pikiranku sejak empat hari lalu. Rasa khawatir bercampur takut jika
tak bisa membawa nama baik provinsi di tingkat nasional seperti tahun kemarin.
“Ra, kamu sudah siap untuk menang lagi tahun ini,
kan ?” Gadis bermata cekung yang duduk di sebelahku, Nisa, membangunkanku dari
rasa khawatir yang dari tadi terus ku layangkan.
“Doakan saja, Nis.” Ku jawab singkat keoptimisannya
dengan melempar satu senyum istimewa untuknya pagi itu.
“Fa alla fa
bayna quluubikum...” Bacaanku terhenti dengan hijaz yang tak lagi renyah.
Sudah beberapa bulan terakhir ini aku sibuk dengan
tanggung jawab sebagi bendahara umum di organisasi sekolahku. Tak banyak waktu
yang bisa ku luangkan untuk berlatih lagi. Layaknya pisau yang berkarat,
suaraku tak pernah ku asah lagi. Padahal, dua hari lagi lomba akan
dilaksanakan. Jangankan untuk meluruskan nahwan
yang aku pun lupa bagaimana menyuarakannya, sedangkan untuk menyambung hijaz pun aku masih ragu.
“Ini, Nak.” Ibu mengejutkanku dari belakang dengan
segelas air berwarna keruh di tangan kanannya.
“Apa ini, Bu ?” Indera penciumanku seperti berbicara
ketika merasakan aroma jeruk nipis yang menusuk – nusuk hidung.
“Sengaja ibu
buatkan untukmu segelas perasan jeruk nipis hangat untuk mengendurkan suaramu
yang dari tadi tertahan.” Segaris senyum ia ciptakan dari rona wajah penuh
ketenangan.
Bukan ibu namanya jika tak perhatian dengan anaknya.
Sama halnya dengan ibuku. Beliau memang menjadi salah satu cahaya inspirasiku
dalam menaklukkan gelombang – gelombang yang bisa saja muncul tiba – tiba
menghantam layaran yang belum cukup kuat untuk dibawa berlayar mengarungi
samudera kehidupan ini.
“Peserta nomor urut tujuh, atas nama Humaira Azzahra
akan membacakan surah Muhammad ayat dua puluh.” Suara dari microphone itu seperti menghentikan aliran darah yang dari tadi
terus bertambah kecepatannya.
Ku mulai membaca tanpa salam dengan ta’awudz rendah dan basmallah yang tinggi satu tangga nada. Lampu yang semulanya hijau
beralih menjadi merah. Ku lantunkan bayyati
qarar untuk kedua kalinya sebagai tanda penutup tilawah kali ini. Selesai sudah penampilanku hari itu.
“Jangan
takut, Allah selalu mengingat hamba-Nya yang mengingat-Nya. Doa sudah ibu
kirimkan. Sekarang kita hanya bisa berserah pada kehendak-Nya.” Suara ibu dari speaker telepon genggamku sudah cukup
ampuh menenangkan hati yang sejak tadi dilanda badai kegalauan.
“Pemenang pertama MTQ cabang tilawah putri tahun ini atas nama Humaira Azzahra. Kepada pemenang
dimohon naik ke atas panggung untuk menerima piala dan sertifikat dari bapak
Gubernur kita.”
Ayah yang sejak awal lomba mendampingiku tiba – tiba
menarik tanganku untuk maju ke depan. Aku masih setengah sadar mendengar
pengumuman itu. Ya. Segala puji bagi Allah penguasa hari kemudian. Aku berhasil
memenangkan lomba ini dan positif akan diikutsertakan ke tingkat nasional bulan
depan di Kota Makassar.
“Semuanya sudah siap ?” Ayah lagi – lagi memastikan
tidak ada barang yang tertinggal untuk keberangkatanku siang ini.
“Nak, Ibu hanya bisa
mengirimkan doa untukmu. Semoga Allah memberikanmu kekuatan dan
kelapangan hati jika seandainya kau tak berhasil tahun ini. Semoga pula Allah
masih menemanimu dan setia mengingatkanmu agar tak tinggi hati bila rupanya
nanti kau berhasil, Nak.”
Ibu memelukku erat dengan getaran yang berbeda dari
sebelumnya. Mungkin getaran inilah yang mengirimkan magnet – magnet cinta agar
sampai kepadaku. Sesekali ku lihat kristal – kristal embun berjatuhan dari ujung
matanya. Tampak olehku betapa besar sebenarnya harapan ibu padaku.
“Ingat, Nak. Jangan jadikan perlombaan ini sebagai
ajang menunjukkan siapa paling hebat. Luruskan niatmu untuk ibadah, lillaahi ta’ala. Jangan pernah menangis
apalagi menyesal jika seandainya nanti kau tak menang. Allah punya rencana lain
di balik semua yang tak sampai dari jangkauan mata kita. Jadilah muslimah yang
kuat. Hati – hati mengarahkan batu sebelum engkau melemparnya.” Lagi – lagi aku
tak bisa melepaskan dekapan ibu.
Burung besi terbang meninggalkan senyum ibu yang
masih lengket di pandanganku. Ini kali kedua aku menjadi perwakilan kontingen
provinsi di ajang yang sama. Besar harapku untuk bisa melambungkan nama provinsiku
tahun ini. Namun, tak sebesar harap ibu untuk melihatku kuat menghadapi apa
yang akan terjadi nanti.
Hari pertama di Makassar seakan membuatku masih tak
percaya. Meski berada di atmosfer yang sama, tetapi udara di sini ku rasa
sedikit berbeda. Lebih dingin dari udara di Aceh. Ingatanku tiba – tiba berlari
menghampiri pesan ibu. Mungkin tidak akan pernah terhapus dari memori kapasitas
menengah otakku.
Rabu, 20 Juni 2012 di masjid Baiturrahman, Makassar,
ku pandangi wajah – wajah calon pemenang dari 32 kontingen provinsi seluruh
Indonesia yang duduk di bawah kubah yang sama. Rasa pesimisku perlahan naik ke
permukaan. Hanya pesan dan doa ibumengibarkan bendera
kegalauan di layaran hati.
Aku telah selesai membawakan lima macam irama dalam
pembacaan surah al – Maidah ayat satu sampai dengan empat dalam babak final
saat diputuskan sehari sebelumnya aku menjadi salah satu dari sepuluh pembaca
terbaik. Tiba saatnya menunggu hari esok dengan tanda tanya yang berbaris rapi
di dalam diam. Doa dan pesan ibu masih setia terekam dalam ingatan. Di hari
penentuan ini tak banyak harapku. Aku hanya ingin Allah berikan yang terbaik.
Semoga Allah mengizinkan aku mengganti kristal – kristal yang jatuh membasahi
pipi ibu.
“Baiklah, kami akan mengumumkan pembaca terbaik
ketiga. Atas nama Nissa Mukarromah dari Provinsi Jawa Barat.” Rasanya aku tak
kuat mendengar kelanjutan pengumuman ini.
“Selanjutnya, pembaca terbaik kedua. Atas nama
Maghfirah Wahyuni dari Provinsi Jawa Timur.”
“Mengapa semuanya dari Pulau Jawa ? Apa pemenangnya
nanti juga dari Jawa ? Jawa Tengah ?” Aku berteriak sekencang – kencangnya
dalam hati. Aroma pesimis mulai tercium dari raut yang dari tadi tertegun sebab
tak berani berkomentar banyak.
“Terakhir, pembaca terbaik pertama. Atas nama
Humaira Azzahra dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kepada pemenang diminta
naik ke atas panggung untuk menerima piala dari Kepala Dinas Pendidikan
Nasional, Bapak M. Nuh.” Lelaki berjas hitam pekat itu berhasil meruntuhkan
dinding – dinding ketakutanku akan kejadian satu tahun silam.
Segala puji bagi Allah yang telah memasukkan
yang mampu menjadikan optimisme yang hampir
tenggelam ini tetap bertahan meski pasang surutnya terus siang
ke dalam malam dan memasukkan malam ke dalam siang. Betapa cepatnya doa yang
ibu kirimkan sampai kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Mungkin
itu salah satu dari berjuta – juta keistimewaan yang Dia hadirkan dalam ruh
seorang ibu, calon penghuni di singgasana-Nya. Bidadari berjubah cinta yang
mengantarkanku menapakkan kaki menjadi mutiaranya. Bulir – bulir mutiara mataku
yang menyeruak menjadi saksi walaupun harumnya kabar ini belum sempurna tanpa tepuk
tangan bangga dari ayah dan ibu.
ada kekeliruan di paragraf terakhir, kesalahan teknis -____-
BalasHapus