Kota
Bengkulu, 2011
“Ada
bunga yang tumbuh di pekarangan hati tanpa tahu siapa yang menanam…”
Ah, memang dia penuh misteri.
Berjuta ragam hal kita sensor dari skenario cinta karena banyak yang
melukiskannya. Di titik nol, kita mulai menapaki langkah itu satu per satu,
kita raba dengan tangan hampa. Menjejaki setiap petaknya. Hingga tiba pada
sebuah langkah yang mau tidak mau harus kita lewati. Sesekali banyak lensa yang
mulai terkecup. Mereka yang ikut ambil bagian, harapan, kesetiaan, berbagi,
bersama, berkorban, berhamba. Dan ah, tak terhitung. Cinta itu penuh misteri.
Bohong besar, jika ada orang yang
mengatakan tidak menyukai perhiasan dunia. Apalagi perempuan. Namun dalam porsi
yang berbeda, kita dapat memahaminya bahwa selayaknya bagi seorang Mukmin agar
segala perhiasan dunia itu ia ulurkan sebagai mediator dalam menjalankan titah
Tuhannya.
Al – Quran memberikan sinyal kuning
kepada kita bahwa pengakuan yang tulus dari hawa nafsu adalah diperturutkan
oleh setan. Ia selalu memekik yelnya untuk memberi semangat kepada kita agar
selalu jauh dari Allah swt. Nah, dalam pengakuan kejujuran seorang Mukmin
inilah yang menjadi batas pemisah dari kesombongan. Bahwa hanya dengan rahmat
Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang kita akan terbebas dari pekikan
kenistaan dan kebiadaban itu.
Syirkul
Mahabbah, atau syirik dalam cinta. Begitu para ulama
menyebut penyakit yang dipaparkan oleh Allah dalam QS Al – Baqarah ayat 165 :
“Dan di antara kalian ada orang
yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti
mencintai Allah. Adapun orang – orang yang beriman sangat besar cinta-Nya
kepada Allah.”
Ketahuilah, Allah akan sangat
cemburu saat kita menghadirkan hal – hal selain-Nya sebagai penanding cinta
dalam cinta-Nya. Jadilah kerapuhan yang sangat bagi orang – orang yang tidak
mengambil sekaligus menjadikan Allah sebagai Habib terkasihnya.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra., justru
mengkhawatirkan VMJ ( Virus Merah Jambu ) pascanikah. Ya. Itulah orang – orang
yang sudah ‘arif billaah. Permasalahannya
hanya di mana kita menempati cinta itu, lalu kita jadikan prestasi untuk
meningkatkan kualitas iman dan taqwa kepada Allah swt.
Ada terminal persinggahan yang
indah. Tampaknya ini momentum yang pas untuk bercermin pada alumnus – alumnus
cinta terdahulu. Ia akan tetap menjadi penyakit jika masa orientasi ke depan
hanyalah si dia. Jika engkau mendiktekan Allah bahwa dialah yang pasti jodohmu.
Lalu, dalam istikharah kamu hanya meminta hanya dia. Hanya dia.pokoknya harus
dia. Ya Allaah…pokoknya harus dia… Kalau memang begitu yang kamu mau, juga
dengan caramu itu, seolah kamu adalah penentu segalanya. Na’uudzubillaah…tsumma na’uudzubilllaah…
Pembantaian selanjutnya ketika
terjadi perubahan nilai orientasi yang mengatasnamakan ibadah dan amalan –
amalan harian. Kita shalat karena dia, bukan Dia. Kita tahajjud di malam ini
bukan karena Dia, tetapi karena takut jika esoknya ditanyain sama dia. Astaghfirullah, ternyata puasa Senin-Kamisnya
juga karena si dia. Allaahu Akbar, Laa
haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘aadzhiim. Kalau semua karena
dia, dia, dan dia. Lantas apa yang kita simpan dan persiapkan untuk akhirat
nanti ?
Andaikan ada nikmat Allah yang
menjadi penyaring jiwa dan raga dari tinju lensa konkaf, pastilah malu salah
satunya. Semisal ada sebuah perisai yang dianugerahkan untuk melawan setan dan
hawa nafsu, mungkin malu adalah bahan dari bagian tertularnya. Justru yang ada
sekarang adalah pekatnya kabut hingga rasa malu itu tidak terlihat lagi. Maka
jadilah mata – mata memandang berkeliaran dalam kebutaan dan jarak pandang yang
pendek.
Jadi, masih ingin jadi manusia
pendikte ? please deh guys.
Jadilah insan pemalu. Malu pada
tabiat yang tak menentu. Karena kadar malumu adalah berbanding lurus dengan
kadar imanmu. WAllaahu a’lam bishshawab…