Aku masih terus mengayuh pedal mungil hitam sambil tersenyum sumringah pada langit kelam tanpa hiraukan butiran - butiran peluh yang berebut jatuh. Tembakan lampu sudut kota semakin memberiku cahaya. Seolah - olah aku ini adalah gadis malam muda. Angin yang datang hanya bisa mengusikku manja. Tanpa salam pembuka bahkan sepotong sapa. Jembatan Minang tampak lengang. Hanya satu dua kendaraan yang berlalu lalang. Ah... Ternyata begini rasanya jadi gadis malam muda, terdampar di sudut kota tercinta.
Malam ini memang di luar rencana. Celakanya, bagaimana pun aku menjauhi dunia, wajahnya masih tersangkut di pelupuk mata. Sebenarnya bukan salah indera. Bukan salah siapa - siapa. Apalagi salah angin yang sejak tadi hanya lalu tanpa menyapa. Mungkin gundah gulana sedang lelah tinggal menyemak di dalam dada. Ia juga ingin menikmati betapa indahnya menjadi bahagian dari malam muda.
Pada genangan air raksasa yang belum tampak riaknya aku mengadu syahdu. Malam ini, aku masih teringat tentang dirimu. Berusaha menelan pahitnya rindu, terlebih manisnya semangat kala itu. Aku hanya bisa mendengar aspal jalan sedang menertawakanku. Pelik memang. Hingga langit pun tak memberi restu. Atau ini memang jalan takdirku. Bukan berarti aku harus melupakanmu.
Sakit mengajarkanku akan arti sehat. Sehat yang terlihat maupun yang tak terlihat. Waktu mengajarkanku arti sabar. Sabar menanti kabar yang kelak kan indah tuk kita dengar. Jarak mengajarkanku arti rindu. Rindu menunggu saat bahagia jika suatu saat takdir kan menghantarkanku berdiri tepat di belakangmu bukan di sampingmu. Kehilangan mengajarkanku arti memiliki, walau sejatinya aku tak berhak atas nikmat yang telah Tuhan beri. Sendiri mengajarkanku arti kebersamaan. Bersama walau kita tahu Tuhan tengah menyiapkan cerita yang kelak akan kita nilai sempurna.
Wahai penghuni malam, akulah gadis malam muda. Bukan gundah karena galau sudah kepalang tumpah. Wahai penghuni malam, akulah gadis malam muda. Bukan nelangsa karena tak punya rasa. Tapi hanya sedang menjinakkan hati, agar aku tahu diri.
Jembatan Minang, Padang, 16 Februari 2015
19.30 WIB
-setelah rinai reda-
"Boleh mengeluh sesekali, asal jangan pernah menyerah walau hanya sekali."
Senin, 16 Februari 2015
Minggu, 15 Februari 2015
Syair Penantian
Mungkin ada dari bagian cerita yang harus
kita jemput masing – masing. Tentu dengan cara yang berbeda. Melawan dan
memusnahkan kegalauan yang beranak – pinak dalam sanubari. Memutuskan tali
silaturrahiim dengan rindu yang menggebu – gebu. Dan pada akhirnya, kita bisa
hidup normal seperti dulu.
Aku kini tengah berjuang menjemput cerita
yang menjadi bias dari cerita lama. Menghidupkan kembali pesona yang hilang
tertimbun masa dan gundah gulana. Serta pada akhirnya, aku sendiri yang akan
mengaku padamu bahwa yang kurasakan hingga detik ini adalah CINTA.
Mulai kususun periode demi periode yang akan
jadi saksi cerita kala nanti. Sangat rapi. Memberi jarak antara kita senti demi
senti. Walau aku sebenarnya tahu Tuhan Mahateliti atas apa yang bersarang di
dalam hati. Akan tetapi, jangan risau. Kita akan segera membunuh galau. Hingga yang
akan kita lahirkan nantinya adalah bintang gemintang yang senantiasa berkilau
kemilau.
“Berhakkah kita merasa lebih arif atas cinta
daripada Allaah SWT Yang Mahaarif dengan penciptaan-Nya telah menitipkan rasa
cinta tuk bersemayam selamanya dalam hati kita ?”
Untuk saat ini biarkan saja aku mati – matian
menahan kegalauan. Memanjakannya dengan puisi – puisi cinta dan syair – syair picisan.
Lalu, kutengadahkan tangan senantiasa merayu pada Tuhan, semoga untuk kita
adalah sebaik – baik yang telah Ia takdirkan...
Selasa, 10 Februari 2015
18:20 WIB
-di balik relief
Masjid At – Taqwa-
Langganan:
Postingan (Atom)
Tugas Akhir PembaTIK Level 4 TAHUN 2024 (VLOG BERBAGI DAN BERKOLABORASI)
Assalamualaikum wrwb. 😇 Halo Sobat Bloggers. Pada postingan kali ini, Saya akan memuat beranda laman blog Saya dengan cerita tentang Tugas...
